Keesokan harinya, Zandy merasa badannya sangat tidak enak ketika baru bangun. Kepalanya sakit bukan main. Tubuhnya lemas. Dengan langkah gontai, Zandy berjalan menuju meja disudut ruangan dan mengambil HPnya. Diteleponnya Verena.
“Hei. Udah di mana? Macet ya?”
“Sorry, Ren. Aku nggak bisa jemput kamu. Aku sakit.” Bahkan suara Zandy parau dan nyaris terdengar.
“Sakit apa? Aku ke sana, ya.”
“Nggak usah! Kamu sekolah aja. Kayaknya cuman demam biasa.”
“Tapi—“
“Kamu sekolah aja. Aku nggak pa-pa. Maaf nggak bisa jemput hari ini. Hati-hati, ya.”
“Ya udah, deh. Tapi nanti pulang sekolah boleh jenguk kan?”
“He-eh.”
“Take care ya, Ndy.”
Setelah mematikan telepon Zandy keluar dari kamarnya. Dia turun dari tangga berlahan. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi.
Di meja makan sudah tidak ada orang. Ghaniya dapat dipastikan sudah berangkat kerja. Sedangkan Dya mungkin sudah pergi juga. Mengingat kakaknya yang satu itu kadang-kadang malas dan suka bolos kuliah.
Zandy menuangkan susu ke dalam gelas dan meneguknya sampai habis. Tapi ternyata itu tidak membuatnya lebih baik juga. Dia berjalan menuju lemari tidak jauh dari meja makan yang menyimpan obat-obatan dan meneguk 2 sekaligus walaupun seharusnya hanya satu. Lalu dia menjatuhkan diri di sofa.
Zandy sendiri jarang sakit selama ini. Dia selalu bisa menjaga stamina tubuhnya dengan baik. Mungkin akhir-akhir ini dia terlalu lelah. Terlalu banyak pikiran. Verena. Suaranya terdengar begitu panik tadi. Bahkan Zandy sempat ragu kalau dirinya tidak akan bisa meyakinkan Verena untuk tidak datang ke sini. Tapi ia bersyukur karena ceweknya itu masih mau mendengar kata-katanya.
Akhirnya Zandy tertidur di sofa. Dia sudah tidak sanggup lagi walaupun hanya sekedar naik ke kamarnya.
Zandy bermimpi. Dia melihat wajah Verena yang berseri-seri. Derai tawanya yang begitu indah di telinga Zandy. Berlari-lari dan Zandy mengejarnya. Tapi tiba-tiba saja senyum itu hilang. Verena berhenti berlari. Wajahnya berubah sedih. Dan berlahan dia meninggalkan Zandy.
Zandy terbangun dari tidurnya. Berharap kalau dirinya tadi tidak berteriak.
“Ndy? Kamu nggak pa-pa?”
Zandy tersadar kalau dirinya masih berada di sofa ruang keluarga. Dan kini di sampingnya duduk, Verena yang masih dengan pakaian seragam putih abu-abunya.
Spontan Zandy langsung menarik Verena ke pelukannya.
“Hei, are you okay?” Verena kembali bertanya.
Zandy teringat kembali dengan sakit di kepalanya dan dia mengerang pelan.
Verena melepaskan diri dari Zandy. “Apa yang sakit?”
Zandy menyenderkan kepalanya ke sofa. “Kepalaku, nih. Sakit banget.”
“Udah minum obat?”
“Udah. Bahkan ampe 2 tablet sekaligus.”
“Ya, ampun. Nanti kamu bisa overdosis! Minum sesuai takaran dong, Ndy!” Verena meraba kening Zandy. “Badan kamu panas banget. Aku anter ke dokter, ya.”
“Nggak usah. Gue paling benci ama bau rumah sakit di Indonesia."
Verena memandang Zandy bingung. Kok bau rumah sakit dijadiin alasan?
“Zandy? Verena?” Zandy menoleh ke sumber suara itu. Di dekat mereka sudah ada Dya dan sahabatnya, Bagas.
Verena langsung melepaskan tangannya dari kening Zandy dan bangkit. Dirinya langsung mati gaya. “Umm…aku—eh gue, beliin obat dulu, ya Ndy. Gue tau obat yang manjur.” Verena lalu keluar dari ruangan.
Dya duduk di samping Zandy. “What’s wrong, Ndy? Kok ampe Verena dateng segala.” Dya memperhatikan wajah Zandy yang pucat. “Are you sick?” Dya meraba kening Zandy dan langsung menariknya. “Oh, Gosh, Ndy. Badan lo panas banget. Gue panggilin dokter, ya.” Berbeda dengan Verena yang menawarkan Zandy buat dibawa ke rumah sakit, sebagai kakak, Dya sudah tau adiknya anti dengan bau rumah sakit.
“Nggak usah, Ya. Nanti juga baikkan.”
“Udah minum obat?”
Zandy nggak mau lagi membahas soal 2 tablet sekaligus yang dia minum tadi. “Kan lagi dibeliin, Verena.”
“Eh, bentar, ya. Gue mau ke atas dulu. Ngambil tugas-tugas kuliah gue.” Dya bangkit dan keluar melewati Bagas.
Bagas yang sejak tadi diam saja duduk di samping Zandy menggantikan posisi Dya. “So? Kalau nggak salah yang tadi itu Verena Prasetyo kan?”
Zandy sudah bisa mencium ke arah mana pembicaraan Bagas. Sahabat kakaknya ini memang unik. Bagas dengan mudah bisa membaca keadaan.
“Lo bisa tebak apa kan?” Zandy berusaha terdengar senormal mungkin. Dia tidak menyangka kalau memberitahukan keluarganya bakalan lebih sulit daripada memberitahu teman-temannya (dalam hal ini Zandy yakin memberitahu Bagas sama saja memberitahu Dya. Mengingat mereka sangat dekat dan nyaris tidak ada rahasia).
“Lo tau apa yang lo lakuin?”
Zandy mengangguk.
Bagas menepuk bahu Zandy ringan. “Jalanin terus, Ndy. Jangan nyerah. Gue dukung lo 100%.”
“Thanks.” Ini sifat yang Zandy suka dari seorang Bagas. Bagas selalu bisa ngerti keadaan orang lain. Zandy sudah pernah menanyakan pada Dya kenapa nggak jadian aja ama Bagas. Tapi Dya hanya menjawab ringan, “we’re best friend for-e-ver! Remember that! For-e-ver!” Setelah itu pun Zandy tidak mau mengusik hubungan kakaknya dengan Bagas lagi. Toh, selama ini Dya juga nggak terlalu ikut campur dengan kehidupan cinta Zandy.
“Gue yakin keluar lo pasti belum tau ini. Dan lo pasti udah mikirin resikonya kalau keluar lo tau kan?”
“Yeah. Mereka pasti tau cepat atau lambat. Bahkan sepertinya Dya bentar lagi bakalan tau.”
Bagas terkekeh. “Gue nggak sebocor itu juga kali. Nggak sebentar lagi. Paling dalam beberapa hari. You know, your sister is a good one. Lo bisa bicarain ini dengan dia. Tapi dengan Ledya aja, ya. Gue nggak yakin kalau dengan Ghaniya, is that a good idea or not.
Zandy pun tau kalau menceritakan hal ini dengan Ghaniya sama aja bunuh diri. Tapi menurutnya kata-kata Bagas ada benarnya juga. Mungkin dia butuh pihak keluarga yang bisa memberinya saran. Walaupun Dipta dan Davin yang selama ini dekat dengannya, tapi mereka pasti nggak bakalan memberi solusi yang baik. Well, Dya kelihatannya oke.
Dya kembali dengan setumpuk kertas-kertas yang merupakan tugas kuliahnya. Zandy yakin pasti kakaknya ini mau minta bantuan Bagas.
Bagas pamit untuk pindah lokasi. Ke tempat favorit Dya dan Bagas di rumah ini: ruang tamu.
Zandy kembali berbaring. Memejamkan matanya.
Dia tidak kepikiran kalau Bagas bisa secepat itu menebak hubungannya dengan Verena. Zandy juga bertanya-tanya, memangnya hubungannya dengan Verena sampai terlihat begitu jelasnya?
“Ndy, minum dulu obatnya, nih.” Suara Verena kembali membangunkannya. Dilihatnya Verena sudah duduk di sampingnya, menyodorkan 2 pil di tangannya dan segelas air padanya.
Zandy membuka mulutnya lebar, meminta Verena memasukkan obat itu ke dalam mulutnya.
Verena memutar bola matanya. “Manja banget sih, lo.” Lalu dimasukkannya 2 pil obat itu ke dalam mulut Zandy dan meminumkan segelas air padanya.
“Eh, kita ketauan ama Bagas.”kata Zandy.
Verena meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja di hadapannya dan menatap Zandy bingung. “Ketauan apa?”
Zandy menunjuk dirinya dan Verena bergantian. “Ketauan soal kita.”
Verena melotot. “Kok lo bisa ember gitu, sih? Lo sendiri yang bilang kalau kita biasa-biasa aja, nggak usah ngasih tau siapa-siapa. Itu kan temennya Kak Dya!”
“Ren, gue nggak ngasih tau. Penting banget apa gue ngasih tau dia segala?”
Verena menghela napas. Dia berbaring di atas sofa, dengan kepala di pangkuan Zandy. “Capek juga, ya Ndy.”
“Semua kan butuh pengorbanan, Ren.”
“Kalau misalnya udah nggak ada yang bisa dikorbanin lagi, gimana, Ndy?”
Zandy menunduk, menatap Verena yang juga sedang menatapnya. “Ren, kalau emang lo merasa berat ngejalanin semua ini…” Zandy menghela napas. “It’s okay. Kita bisa —“
Verena meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Zandy untuk mendiamkannya. “Sssst! Don’t say that word. Aku cuman mau berkeluh kesah aja, cerita perasaan aku ke kamu, bukannya mau nyerah. Remember that, Verena Maulidhya never give up.”
Zandy menyapukan jarinya di bibir Verena. “Bagus! Itu baru ceweknya Rezandy!”
Verena terkekeh.
Zandy membungkuk untuk mencium Verena. Tepat saat bibirnya hampir menyentuh bibir Verena, terdengar teriakkan Dya, “Zandy!”
Zandy refleks menjauhkan wajahnya dari wajah Verena, dan Verena langsung bangun dari pangkuan Zandy, bangkit berdiri, merapihkan pakaian seragamnya dan menatap Dya dengan khawatir.
Dya menghampiri mereka. “What the hell is that!? Lo gila, ya?”
Bagas muncul dari belakang Dya dan berusaha menenangkan sahabatnya itu. “Ya, biarin mereka ngejelasin dulu.”
Dya berbalik menatap sahabatnya. “Jangan bilang lo udah tau soal ini?”
Bagas hanya diam.
Dya memukul lengan Bagas.
Bagas mengelus-elus lengannya, “baru tadi kok, Ya. Sumpah!” Bagas mengacungkan dua jarinya.
Dya berbalik menatap adik dan sepupunya. “Sekarang, apa penjelasan kalian? Jangan bilang tadi itu cuman kecelakaan, nggak sengaja, atau bahkan cuman nafsu sementara!”
Napas Verena tertahan ketika Dya mengucapkan kata-kata terakhirnya.
Ekspresi Dya melunak, dan suaranya memelan, “Ndy, gue tau lo player. Tapi please, bisa nggak sih, bukan sepupu lo sendiri, dan bukan di rumah ini? Lo jangan ngancurin anak orang lagi, Ndy.”
Zandy masih juga diam, sedangkan Verena bingung ingin bilang apa dan hanya bisa berharap Zandy yang akan menjelaskan. Yang jelas satu yang ada di benak Verena sekarang: seluruh keluarganya, bakal tau.
“Jawab gue, Ndy! Gue nggak nyangka kalau adek gue ternyata —“
“I’m in love with her!” Verena terlonjak kaget mendengar Zandy yang tiba-tiba berteriak.
Dya tertawa sumbang. “Tell me you are joking.”
“Gue serius. Gue nggak main-main.” Zandy berdiri dan merangkul Verena. “Kita udah jadian.”
Dya memandang Verena dan Zandy dalam diam. Dirinya masih tidak percaya dengan kejadian yang barusan ia lihat, dan sekarang pengakuan adiknya. Dya terduduk di sofa, memandang kosong ke depan. Entah siapa yang harus disalahkan. Semuanya sudah salah sejak awal, Dya tahu itu. Sekarang semuanya sudah terlalu jauh.
“Ndy,”kata Dya dengan suara pelan dan lembut, “kita harus bicarain masalah ini baik-baik. Gue nggak tau harus ngomong apa ke elo. Gue juga nggak mau masalah ini ampe ketauan sama Ayah dan Ibu, apalagi Nenek Runi. Jadi gue rasa, selama masalah ini masih bisa kita selesain sendiri, selesain dulu. Dipta atau Davin belum tau soal ini kan?”
Zandy dan Verena menggeleng bersamaan.
Dya menyenderkan punggungnya ke punggung kursi. “Lo pasti bisa tebak apa yang bakalan gue minta ke lo berdua.”
Tangan Zandy yang melingkari tubuh Verena mengerat. “Lo juga pasti udah tau apa jawaban gue.”
“Ya, ya, ya.” Dya memejamkan matanya dan memijat-mijat pelipisnya sendiri. Tiba-tiba saja kepalanya jadi pusing. Dya tahu kalau masalah ini tidak boleh diketahui siapa-siapa. Apalagi Ghaniya, dia bisa langsung mengamuk kalau tahu masalah ini. Juga Danar, yang selama ini sudah memasang lampu kuning pada Zandy. Sekarang posisi Dya serba salah. Jalan satu-satunya hanya memisahkan mereka, tapi Dya tahu itu tidak mungkin. Dya membuka matanya, 3 pasang mata tertuju padanya, menunggu. “Kalian sampai kapan mau begini? Kalau kalian masih mau mempertahankan hubungan kalian, kalian pasti tau kalau nanti akhirnya pasti ketauan.”
“Kita kayak gini, udah mikirin semuanya matang-matang, Ya. Kita tahu konsekuensi yang harus kita terima. Apa pun yang terjadi, gue nggak bakalan ninggalin Verena,”jawab Zandy mantap.
“Mbak Dya, maafin Verena ya,”kata Verena lirih, “Rena nggak maksud buat pusing keluarga, atau ngancurin hubungan keluarga kita. Tapi ini sesuatu yang nggak bisa Verena hindari, Mbak.”
“Gue tau ini bukan salah kalian. Gue nggak bakal bilang ini ke siapa pun. Gue biarin aja mereka semua tau dengan sendirinya. Gue harap, saat waktunya tiba, kalian udah siap. Gue dukung kalian sepenuhnya dan gue yakin pasti kalian bisa ngelewatin ini semua.”
Zandy tersenyum tulus. “Thanks, Ya. Ghani jangan sampe tau, ya.”
“Nggak bakal. Gue tau gimana sifat kakak kita itu.”
“Mmm…Ya,”kata Bagas ragu-ragu, “tugas lo masih ada 25 nomer lagi, gimana?”
Dya menepuk bahu Bagas pelan. "What bestfriends are for! Lo kerjain ya."
Bagas langsung lemes.
“Bener lo udah nggak pa-pa?”tanya Verena. Verena agak ragu ketika Zandy mengajaknya jalan hari ini. Apalagi kemarin dia masih menemani Zandy sampai malam karena panas Zandy nggak turun-turun.
Zandy tertawa pelan. “Kamu terlalu khawatir. Kamu pikir aku selemah itu?”
“Siapa yang bilang kamu lemah? Playboy cap hiu mana ada yang lemah! Kerjanya makanin ikan cantik.”
Zandy tertawa sambil memukul-mukul stir mobilnya. “Ya ampun, Ren! Jangan ikan, dong! Emang lo ama gue seamis itu apa?”
Verena menepuk lengan Zandy pelan. “Eh, ngomong-ngomong soal ikan. Hari ini bukannya Ayah kamu ulang tahun?”
“Ah! Lupa gue!”
“Dasar, anak kurang ajar. Masa ulang tahun ayah sendiri nggak inget.”
“Jangan gitu dong kamuuu…”kata Zandy sok manja, “aku kan lupa. Wajar dong kalau orang lupa. Jadi gimana, nih? Nggak jadi nonton deh, kita. Batal deh kencan kita.”
Verena nggak habis pikir soal cowoknya yang satu ini. Bahkan Zandy masih juga menyayangkan kencan mereka padahal jelas-jelas ulang tahun ayahnya hanya terjadi sekali dalam setahun.
“Kan bisa kapan-kapan. Yang penting sekarang Ayah kamu dulu.”
Zandy menghela napas. “Emang nggak ada waktu santai ya, buat kita? Oke, deh. Puter balik. Kita ke supermarket.”
Zandy mendorong troli belanja yang sudah penuh dengan makanan. Di depannya, Verena berjalan sambil melihat ke rak-rak makanan. Begitu mereka lewat di depan cokelat dan permen-permen, Zandy langsung menyambar satu pak besar permen dan satu pak cokelat dan memasukkannya ke dalam troli.
Verena yang melihat tindakkan Zandy barusan berbalik dan menatap Zandy sambil berkacak pinggang. “Eh, jangan rakus, dong!” Verena menunjuk ke troli mereka, “baru aja nyampe, troli kita udah penuh! Mending isinya bahan-bahan makanan buat masakin bokap lo! Isinya makanan lo semua!”
“Nggak papa dong. Boleh boleh aja, kan gue belanja? Biasanya yang beli makanan di rumah si Bibi, mana ngerti cemilan kesukaan gue.”
Verena mencibir. “Zandy sayaaaang….kalau lo ngambilin makanan lo terus, gue nggak bakalan bantuin lo hari ini.”
Zandy mencolek pipi Verena. “Jangan ngambek gitu, dong.”
Verena menepis tangan Zandy. “Jijik lama-lama gue ama lo!”
Pertengkaran mereka terus berlanjut selama mereka berbelanja. Zandy mendorong kereta belanja sambil mengikuti Verena yang mondar-mandir mengambil bahan-bahan. Sedangkan setiap mereka melewati rak cemilan, Zandy mengambil banyak-banyak cemilan kesukaannya, dan Verena akan kembali mengomel. Alhasil mereka bisa jadi orang terlama yang bayar di kasir.
Saat sampai di rumah Zandy, Verena melarang siapa pun untuk membantu Zandy menurunkan belanjaan dari mobilnya.
“Turunin sendiri!”kata Verena sambil berkacak pinggang. “Ini kan belanjaan lo semua!”
Zandy akhirnya berhasil menurunkan semua belanjaannya setelah 4 kali mondar mandir.
Mereka pun mulai memasak.
Seumur-umur Zandy tidak pernah memasak. Bahkan berapa kali dia masuk dapur rumahnya sendiri, bisa dihitung dengan jari. Selama ini dia hanya tinggal teriak minta ingin makan apa. Sedangkan Verena memang dididik oleh ibunya dalam urusan dapur.
“Ambil pisau, Ndy. Terus lo potongin nih, sosis, bawang, ama segala macemnya,”perintah Verena.
Zandy jadi kebingungan sendiri. Dia membuka laci dari ujung ke ujung untuk mencari pisau.
“Jangan bilang lo nggak tau letak pisau di dapur lo sendiri di mana?”tanya Verena sambil mengeluarkan bahan-bahan dari dalam kantong plastik.
“Yah, Ren. Gue mana tau kalau soal dapur.”
“Nanti misalnya kalau ada maling masuk ke rumah lo, dan lo nggak tau letak pisau di mana, gimana?”
“Nggak mungkinlah. Kan ada Pak Agus yang jagain di depan.”
“Gimana kalau Pak Agus udah ambruk duluan?”
“Ya, pake pistol aja. Atau nggak tinggal telpon polisi.”
Verena berdecak lalu membuka laci dan mengeluarkan pisau dan meletakkannya di atas talenan. Dia heran sendiri sama Zandy, masa letak pisau di dapur sendiri nggak tau?
Zandy mulai memotong sosis sedangkan Verena merebus spaghetti.
“Kenapa harus dikasih mentega, Ren?”tanya Zandy polos ketika melihat Verena memasukkan mentega ke dalam rebusan spaghettinya.
“Biar nggak lengket.”
Verena melihat hasil kerja Zandy dan langsung mengomel frustasi, “ya ampun, Ndy. Kira-kira dong, masa satu sosis cuman jadi 3 potong?” Verena merebut pisau dari tangan Zandy dan mempraktekkan cara yang benar. “Motongnya lebih tipis lagi. Kalau kamu motong sebesar tadi, mending nggak usah dipotong.”
Selanjutnya Zandy kembali melakukan kesalahan-kesalahan lain, sampai Verena kesal dan mengusirnya dari dapur. Begitu Zandy keluar pun dia masih menganggu. Bentar-bentar mengintip ke dalam dapur untuk memastikan. Alasannya, “siapa tau gosong”, atau yang gombal kayak, “aku takut kamu masuk ke dalem pancinya, Sayang” “takutnya nanti kamu lebih manis daripada makanannya” dan akhirnya Verena mengunci pintu dapur. Tapi begitu pintu dapur dikunci, wajah Zandy muncul di jendela.
“Rezandyyyy…” Verena menggeram marah. “Ngintip sekali lagi, kita putus!”
“Aduh. Kok galak, sih?”
Verena mengacungkan pisaunya ke arah Zandy dan Zandy langsung kabur.
Verena melihat bayangan seseorang dari jendela dan kontan langsung berbalik dan mengacungkan pisaunya. Tau-taunya yang muncul adalah Dya.
“Aduh, Mbak Dya. Maaf. Rena kira tadi Zandy.”
Dya tertawa cekikikan. “Maafin adekku yang satu itu, ya. Emang suka gangguin orang. Gimana? Udah selesai?”
“Udah. Tinggal di tempatin aja.”
“Boleh aku bantuin?”
“Boleh. Masuk aja, Mbak.”
Dya memandang ke arah pintu. “Kayaknya nggak muat kalau dari jendela, Ren.”
Verena tersipu malu dan membukakan pintu untuk Dya.
Berbeda dengan Zandy yang nggak tau apa-apa dan nggak bisa apa-apa kalau udah menyangkut dapur, Dya lebih cekatan. Walaupun selama ini Ibunya jarang di rumah, tapi dia selalu belajar banyak dari Nenek Runi.
“Gimana? Ama Zandy lancar-lancar aja kan?”
Verena merasa kurang enak dengan topik pembicaraan mereka kali ini. “Ya.”
“Sabar, sabar ya, kalau ngadepin dia.” Setelah selesai menumpahkan spaghetti ke saringan dan menggoyang-goyangkannya sampai airnya turun, Dya menempatkannya di sebuah piring besar. Lalu ditatapnya Verena yang hanya berdiri diam. “Maksud gue, jangan pernah nyerah. Setelah gue pikir-pikir, hubungan kalian ini emang patut diperjuangkan.”
“Thanks Mbak, atas dukungannya.”
Ayah Zandy langsung terkesan begitu diberi sambutan ketika sampai di rumah. Zandy langsung memamerkan spaghetti di atas meja makan, sebagai hasil karyanya, dan hadiah untuk ulang tahun ayahnya. Mau nggak mau yang ulang tahun terharu juga, karena tahun ini anak bungsunya ingat ulang tahunnya.
Ayah dan Ibu Zandy sempat kaget melihat kehadiran Verena. Tapi Verena langsung menjelaskan kalau kehadirannya di sini untuk membantu Zandy. “Bahkan ini semua bukan Zandy yang buat, Tante, Oom. Dia cuman bisa ngerusak aja.”
“Oom sama Tante percaya, kok. Mana mungkin,” Ayah Zandy menepuk punggung anaknya, “dia bisa masak kayak gini!”
Zandy jadi cemberut. Dia menatap Verena nggak setuju. Ngapain sih, tuh anak cerita-cerita?
Setelah mereka selesai makan, semuanya memuji kelezatan masakan Verena. Dan mereka mengobrol. Jarang-jarang ada momen untuk keluarga berkumpul semua. Verena jadi nggak enak hati karena harus menganggu kebersamaan mereka. Tadinya dia udah mau pamit pulang, tapi Oom dan Tantenya menahan.
“Gimana Zandy, di sekolah, Verena?”
Zandy sedikit melotot ketika mendengar perkataan Ibunya barusan. Sejak kapan Ibunya begitu mau tahu seperti itu? Dan kenapa harus tanya ke Verena segala, sih?
“Akhir-akhir ini sih, nggak ada masalah, Tante.” Verena memberi pandangan apda Zandy. “Nggak tau juga ya, nantinya gimana.”
Zandy mendengus. “Udah deh, Ibu sama Ayah nggak usah bahas ini lagi. Zandy udah berubah kok, sekarang. Kapok sama hukuman Nenek Runi.”
“Tapi Oom percaya sama Verena. Pasti kamu bisa buat Zandy jadi anak baik selamanya.”
Verena hanya tersenyum kecil.
Malam sudah sangat larut, tanpa sadar mereka terus berbincang dan bercanda bersama. Orangtua Zandy menawarkan Verena untuk menginap di rumah mereka, dan Verena dengan sedikit enggan menerimanya. Verena nggak berani buat nyetir malam-malam gini sendirian.
Jadilah malam itu dia tidur dengan Dyad an pakai piamanya Dya.
“Ternyata Oom Dhimas dan Tante Denada asik juga, ya. Selama ini mereka nggak pernah banyak ngomong sih, kalau ada kumpul-kumpul di rumah Nenek Runi.”
Dya tersenyum. “Bisa dibilang mereka cuman simpan sifat itu buat kita anak-anaknya. Lagian cuman kadang-kadang aja mereka begitu. Biasanya sih selalu strick sama aku, Zandy, dan Ghaniya.”
Pintu kamar Dya diketuk. Dya turun dari tempat tidurnya dan membuka kunci pintu kamarnya. Zandy sudah berdiri di depan pintu kamar Dya dengan senyum lebar di wajahnya.
“Mau apa?” Dya bertanya agak ketus, kurang suka diganggu malam-malam begini.
Zandy menunjuk Verena yang sudah setengah berbaring di tempat tidur.
Dya memukul pelan lengan Zandy. “Bukan muhrim tau!”
“Aduh, Ya! Lo ngeres banget, ya!”
“Tanya aja gih, ke orangnya sendiri!” Dya membuka pintu kamarnya lebih lebar sampai Verena terlihat jelas oleh Zandy.
“Ren? Kamarku, yuk.”
Verena menatap Dya lalu menggeleng. “Kan nggak enak sama keluarga kamu. Gimana, sih?”
Zandy memutar bola matanya. “Come on, Ren. Spent the night with me. Kita ngobrol-ngobrol.” Zandy melirik ke arah Dya. “Tenang aja, Ayah sama Ibu nggak perlu tau, kamu juga udah denger sendiri kan dari Dya? Ini terserah kamu. Kalau Ghaniya nggak usah ditanya.”
Verena menggigit bibirnya, bingung.
“Kalian kayaknya emang butuh banyak bicara, deh,”kata Dya. “Apalagi soal masalah kalian itu. Tapi inget, Ndy. Nggak ada tidur bareng. Kalau lo mau tidur, di lantai! Kalau nggak mau juga, mending nggak usah tidur! Atau nggak kamu bisa balik ke sini lagi, Ren. Ketok aja."
Verena merasa kalau masalah mereka memang harus diomongin lagi. Apalagi setelah kedekatannya dengan Oom Dhimas dan Tante Dena tadi. Dirinya jadi merasa lebih bersalah karena sudah menutup-nutupi hubungan mereka. Bahkan dirinya dianggap membawa pengaruh baik bagi Zandy.
“Mbak Dya, bener. Aku dan Zandy butuh bicara. Banyak.” Verena turun dari tempat tidur dan mengikuti Zandy ke kamarnya.
“Kita harus kasih tau orangtua kamu,”kata Verena begitu Zandy menutup pintu kamarnya.
Zandy berbalik dan memandang Verena. “Jadi kamu memang serius mau ngomong?”
“Kan kamu yang emang sejak awal ngajakin ngomong?”
“Tapi itu kan cuman― Okay, kalau memang kamu mau ngomongin ini.”
Verena duduk di pinggir tempat tidur Zandy, menatap kosong ke depan. “Aku nggak sanggup. Kita udah bohongin banyak orang. Bahkan orangtua kita sendiri! Nggak mungkin kan, kita begini seumur hidup?”
“Tapi apa kamu yakin, dengan kasih tau ke keluarga adalah jalan yang terbaik? Apa kamu nggak mikirin konsekuensinya bagi hubungan kita?”
“Sejak awal hubungan kita udah penuh dengan konsekuensi, Ndy.”
“Mereka bisa misahin kita, Ren!” Zandy sadar suaranya terlalu keras. Terlalu keras untuk didengar keluarganya juga terlalu keras untuk berbicara dengan pacarnya sendiri. “Maaf, Ren. Aku cuman nggak mau terjadi sesuatu sama hubungan kita. Kita baru mulai, ini semua nggak harus berakhir secepat ini kan? Kita pasti udah sama-sama tau, apa yang akan mereka lakuin begitu tau soal kita.”
Verena mulai menitikkan air mata yang sejak tadi ditahannya. Dulu, sebelum bersama Zandy, dia bukan gadis cengeng seperti ini. Dia sendiri bingung kenapa akhir-akhir ini dirinya begitu sensitif. Begitu mudah tersentuh, marah, dan menangis.
Zandy merangkul Verena ke dalam pelukannya. Tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Menunggu Verena tenang.
Verena mengubur wajahnya di dada Zandy. Kedua tangannya memeluk tubuh cowok itu erat dan kalau bisa ia tidak mau lepaskan. Dirinya sadar, kalau sudah jatuh terlalu dalam bersama Rezandy, sepupunya sendiri. Mereka harus ditarik keluar, yang berarti dipisahkan satu sama lain. Verena juga tidak mau itu terjadi.
“Aku takut, Ndy.” Verena mengatakannya dengan suara lirih dan bergetar.
Zandy membelai Verena berlahan. “Sssst. Darling, it’s gonna be okay. I’m here. Everything will be alright.”
Keesokan harinya mereka sukses bangun kesiangan, karena semalaman Verena nggak bisa berhenti nangis dan Zandy dengan setia menenangkannya. Bahkan sampai peringatan Mbak Dya untuk nggak tidur bareng, mereka langgar, karena Verena nggak mau ngelepasin tangannya dari Zandy bahkan sampai bangunpun tangan Verena masih melingkar dengan setianya di tubuh cowok itu.
“Rasanya males bangun deh, Ndy,” Verena merajuk.
Zandy memberikan kecupan selamat pagi di pipi Verena. “Sejak kapan kamu jadi males begini, hah?”
“Pasti mataku bengkak, ya?”
Zandy menyentuh sekeliling mata Verena dengan jarinya, lembut. “Nggak terlalu, kok, Sayang. Masih tetap cantik seperti biasanya.”
“Gombal, deh!”
Zandy tersenyum nakal. “But I know you like it.”
Diciumnya bibir Verena lama. Membiarkan perasaan penuh cinta itu mengalir di antara mereka. Membuat aliran listrik yang menggelitik. Ciuman yang semakin membuat keduanya enggan untuk memisahkan diri. Penuh kerinduan dan keinginan.
“Zandy!”
Spontan Zandy langsung melepaskan bibir Verena dan melihat si pemilik suara, Ghaniya, yang sudah berdiri di dalam kamarnya dengan wajah geram.
Verena dan Zandy, keduanya sama-sama syok. Baru saja semalam mereka membicarakan soal pemberitahuan hubungan mereka, pagi ini Ghaniya sudah melihatnya langsung, bahkan saat mereka sedang berciuman!
Verena yang biasanya pintar berbicara nggak bisa berkata apa-apa. Sedangkan Zandy yang pinter ngeles, dan nyolot sama terpakunya dengan sang cewek.
“What the hell are you two thinking!?”
Karena mendengar suara Ghaniya, Dya yang baru aja mau minjemin bajunya ke Verena, jadi sama terpakunya dengan sepasang kekasih itu ketika mendapati kakaknya sudah berdiri di hadapan mereka.
“Explaination!”
Zandy merangkul tubuh Verena, merasa sudah cukup memberi penjelasan.
“Kalian berdua, ditunggu di ruang tamu.” Setelah mengatakan itu Ghaniya berbalik dan turun.
“Kok, bisa?”Dya langsung bertanya.
“Gue juga nggak tau. Tiba-tiba aja dia masuk.” Zandy memejamkan matanya sekilas. “When I kissed her.”
Dya menganga. “You’re in a big trouble, Brother. Gue nggak bisa berbuat apa-apa untuk kalian kalau udah kayak gini. Cuman bisa kasih nasehat aja. Perjuangin.” Dya meletakkan pakaian untuk Verena di atas meja lalu pergi.
Verena mengambil pakaian Dya dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti piamanya. Setelah keluar Zandy juga sudah mengganti pakaiannya.
“Ini kaos kesayangan gue. In case kalau gue diusir dari rumah,”kata Zandy.
Verena memeluk Zandy dan mulai kembali menangis. “Ndy, kita gimana?”
“It’s okay. Setidaknya mereka udah tau tanpa harus susah-susah kita kasih tau. Cepat atau lambat hal ini juga bakalan kejadian kan, Ren? Sekaran kita hadapin sama-sama.” Direngkuhnya wajah Verena dengan kedua tangannya, menghapus berlahan air mata dari wajah gadis itu. “And promise me, apa pun yang akan terjadi kita nggak akan nyerah, kita tetep sama-sama.”
Verena mengangguk.
Ghaniya ternyata segera melaporkan kejadian tadi pada orangtuanya. Kedua orangtuanya yang baru saja mau berangkat ke Aussie, langsung mutar balik lagi pulang ke rumah dan siap menyidang Zandy dan Verena.
Zandy duduk di sebelah Verena, sambil merangkul tubuh cewek itu yang gemetaran. Dya duduk di sisi kanan Verena, ikut berusaha menenangkan. Sedangkan pihak penuntut duduk di hadapan mereka, Ghaniya, dan kedua orangtua Zandy.
Zandy memberi tatapan menusuk pada Ghaniya. Dia bersumpah nggak akan memaafkan kakaknya itu apabila terjadi sesuatu dengan hubungannya, apalagi dengan diri Verena sendiri. Cara Ghaniya menyelesaikan masalah benar-benar berbeda dari Dya. Kalau emang dia mau lapor segala ke Ayah dan Ibu kenapa nggak nanya dulu kek udah siap atau nggak.
“Kami sudah dengar dari Ghaniya,” Dhimas Prasetyo memulai. “Dan jujur, kami sangat amat kecewa. Kalian pasti tahu, kan, apa yang kalian lakukan selama ini itu salah? Kenapa kalian tetap melakukannya?”
“Beri kami alasan,” Denada Handoko berbicara dengan tenang, penuh keibuan, sekaligus kekecewaan.
“Kami tahu ini kesalahan kami.” Zandy mempererat rangkulannya pada Verena. “Kami sendiri nggak pernah menghendaki yang demikian. Dari diri kami masing-masing nggak ada yang bisa berbuat apa-apa.”
“Rezandy Putra! Kamu laki-laki! Tentu kamu bisa berbuat sesuatu! Tidakkah kamu sadar sudah membawa Verena ke dalam masalah?”
“Saya tidak pernah berniat membawa Verena ke dalam masalah, Ayah. Kami hanya memperjuangkan apa yang kami rasakan.”
“Kamu sudah gila, Rezandy! Dia sepupumu sendiri! Ayah yakin kamu tidak sebodoh yang orang-orang kira! Ini kesalahan! Suatu kesalahan yang kalau dibiarkan semakin lama akan semakin besar!”
Tubuh Verena semakin gemetaran mendengar volume suara Oom Dhimas yang semakin lama semakin besar. Padahal semalam dia baru saja mendapatkan kehangatan di tengah-tengah keluarga Prasetyo.
“Rezandy, apa kamu tidak memikirkan ini dulu sebelum, sebelumnya memutuskan?” Dena Handoko berbicara masih dalam suara keibuannya.
“Saya sudah memikirkan ini, ibu. Saya juga tidak pernah memaksa Verena. Ini keputusan kami bersama.”
“Ini sudah keterlaluan!” Dhimas Prasetyo bangkit dari tempatnya. “Ayah akan segera membawa kalian ke hadapan keluarga besar! Dan kamu Verena, Oom yakin kamu sudah bisa membayangkan bagaimana kecewanya orangtuamu!”
Verena, Dya, dan ibunya satu mobil, sedangkan Zandy, Ghaniya, dan ayahnya di mobil lain. Mereka sedang menuju kediaman Nenek Runi. Kedua orangtua Verena tidak kalah syoknya begitu ditelepon Dhimas Prasetyo, mengabarkan soal anaknya yang sudah melakukan hubungan terlarang dengan Zandy.
“Maafin saya, Tante. Saya nggak pernah ada maksud buat masalah ataupun buat malu keluarga. Saya―”
Tante Dena membelai keponakannya dengan lembut. “Tante tau, Verena. Jujur, tante kecewa, tapi tante yakin kalian pasti punya fondasi yang sangat kuat sampai berani mengambil resiko ini.”
Verena sedikit tenang, setidaknya ada orang yang tidak sepenuhnya menyalahkan dirinya dan Zandy.
“Pasti saya dan Zandy akan dipisahkan, kan, tante?”
Tante Dena tersenyum menenangkan. “Tante tidak tau, Verena. Tapi satu pesan tante. Jangan anggap seluruh beban ada padamu. Ingat kamu masih punya teman-teman, sepupu-sepupu, dan keluargamu yang lain, yang siap buat bantu kamu, Verena.”
Verena berharap dalam hati, kalau Mamanya akan mengambil sikap yang sama seperti Tante Dena.
Ternyata persidangan di rumah Zandy barusan tidak cukup juga. Sampai mereka harus dibawa ke hadapan jaksa tertinggi, yaitu Nenek Runi. Tidak hanya itu, tapi juga di bawa di depan seluruh keluarga besar Handoko. Kelima anak-anak Nenek Runi, sampai kesepuluh cucu-cucunya, semuanya hadir.
Mereka memandang ke arah Zandy dan Verena dengan pandangan yang sama syoknya. Siapa sangka dua orang yang selama ini cendrung bertolak belakang tiba-tiba saja jadi tersorot kasus begini, hingga menghebohkan satu keluarga besar. Apalagi Verena seumur hidup nggak pernah kena omel sama Nenek Runi. Kalau Zandy sih, udah biasa. Tapi kali ini nggak biasa karena korbannya adalah Verena.
Nenek Runi tidak terlihat syok. Beliau terlihat tetap senang seperti biasanya. Andyta Handoko, beberapa kali menyeka mata agar air matanya tidak menitik. Hariadi Kusuma terlihat sama marahnya dengan Dhimas Prasetyo.
“Jadi selama ini, Ledya tahu, mengenai hubungan kalian?” Nenek Runi memulai.
Dya jadi ikut terbawa juga. Mau nggak mau dia mengaku. Kalau sudah di hadapan Nenek Runi, pilihannya hanya 2: jujur atau mati.
“Kenapa kamu melindungi mereka? Bahkan kenapa kamu menyerahkan Verena pada Zandy semalam? Apa yang ada di dalam pikiran kamu, Ledya?”
Dya hanya diam. Dirasakan tatapan beberapa sepupu-sepupunya teralih padanya.
“Saya butuh jawabanmu, Ledya. Apa kamu meledek saya karena tidak bisa membaca pikiranmu?”
“Maaf, Nek. Saya tahu, saya salah. Tapi saya pikir, saya tidak perlu ikut campur dalam masalah Verena dan Zandy.” Ledya tersenyum tulus ke arah adik dan sepupunya itu. “Saya yakin mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri.”
“Tidak ikut campur, bukan berarti kamu menyerahkan Verena pada Zandy begitu saja, Ledya.”
“Nek, tolong jangan salahkan―” Zandy baru saja mau membela kakaknya, tapi Nenek Runi sudah menghentikannya.
“Saya butuh waktu untuk memikirkan ini. Ini kejadian pertama di keluar Handoko, dan saya harap dan untuk yang terakhir kalinya.” Nenek Runi menyapu pandangan ke arah cucu-cucunya yang lain. “Saya tidak mau hal ini terulang pada kalian.”
Sejak hari itu, Zandy dan Verena belum pernah bertemu satu sama lain lagi. Orangtua mereka melarang mereka untuk bersekolah sementara waktu ini sampai Nenek Runi membuat keputusannya. Kalau berdasakarn dari orangtua masing-masing, tentu saja keputusannya sudah dibuat, yaitu: perpisahan. Tapi Nenek Runi mengatakan kalau beliau akan segera memutuskan.
Zandy dan Verena hanya sekedar berhubungan lewat telepon, SMS, atau webcam. Verena nggak bisa berhenti mikirin permasalahnnya dengan Zandy, bahkan matanya sepanjang hari bengkak karena menangis. Zandy yang melihat keadaan Verena jadi semakin perihatin, tapi dia tidak bisa berbuat banyak.
Sedangkan Dya masih membantu Zandy dan Verena. Meminjamkan HPnya diam-diam selama telepon di kamar Zandy di cabut dan HPnya di sita.
Kalau soal Ghaniya, Zandy masih marah besar pada kakaknya yang satu itu. Zandy nggak pernah lagi meladeni perkataan Ghaniya sejak dirinya dan Verena kepergok. Zandy juga nggak merasa dirugikan dengan nggak ngomong ke kakaknya itu.
Malam ini pun Verena menelepon Zandy. Cewek itu masih terisak, suaranya serak. Rasanya ingin sekali Zandy menemuinya. Pernah dia mencoba kabur, tapi gagal total. Karena apalagi kalau bukan karena Ghaniya? Semakin benci Zandy padanya.
Sampai akhirnya seminggu setelah kejadian itu, sekarang Nenek Runi memanggil Verena dan Zandy untuk datang ke rumahnya.
Rumah Nenek Runi tidak seramai seminggu yang lalu. Hanya ada beberapa cucu Handoko yang hadir, juga orangtua Zandy dan Verena.
Begitu Zandy dan Verena bertemu untuk pertama kalinya lagi, Zandy langsung merengkuh gadis itu dalam pelukannya seerat yang ia bisa. Tidak ada yang bisa dilakukan para keluarga yang lain selain menatap mereka dengan tatapan tidak berdaya.
“Kamu nggak pa-pa, kan?”tanya Zandy sambil memperhatikan wajah Verena yang terlihat pucat.
Verena menggeleng.
Mereka bedua berjalan menuju ruang kerja Nenek Runi. Nenek Runi ingin berbicara 6 mata dengan mereka saja. Tanpa gangguan orang lain.
Jarang yang pernah masuk ke dalam ruang kerja nenek Runi, selain pelayan kepercayaannya, Irna, yang sudah bekerja 20 tahun dengannya. Anak-anaknya pun enggan untuk masuk ke sini, apalagi para cucu-cucunya. Verena dan Zandy adalah yang pertama untuk masuk ke sini.
Ruangannya sangat besar. Rak-rak yang terbuat dari kayu berwarna gelap, menjulang tinggi hingga langit-langit, dipenuhi buku-buku koleksi Kakek Irfan dan Nenek Runi. Buku-buku dan file-file penting di simpan di lemari di dekat meja kerja yang berkaca dan selalu terkunci. Sebuah meja kayu yang besar dan terlihat sangat kokoh berada di ujung ruangan, dengan Nenek Runi duduk di belakangnya, membelakangi jendela.
Verena dan Zandy duduk di kursi di hadapan Nenek Runi. Seperti biasanya ekspresi Nenek Runi sulit untuk ditebak. Selalu terlihat tenang, tapi tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikirannya atau pun suasana hatinya.
“Saya sudah memutuskan,” Nenek Runi memulai.
“Tolong Nenek pikirkan lagi.” Zandy ngotot mempertahankan hubungannya. “Saya benar-benar serius dengan Verena.”
“Rezandy, saya belum selesai berbicara.”
Zandy terdiam. Di tatapnya Verena yang duduk di sebelah kanannya, hanya bisa setengah menunduk tidak berani menatap Nenek Runi. Zandy memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Salah satu dari mereka bisa dipindahkan sekolahnya. Tapi yang terpenting yang ada di pikiran Zandy, apa yang akan terjadi pada Verena jika dirinya tidak ada? Apa semuanya akan kembali normal lagi?
Zandy jadi semakin merasa bersalah. Dia tau seharusnya bisa menahan perasaannya. Seharusnya dia tidak memancing Verena, tidak memupuki hubungan ini sejak awal.
“Omongan harus dibuktikan, Rezandy. Bukti apa yang bisa meyakinkan saya kalau kamu serius dengan Verena?”
Zandy semakin bingung. Dia sadar dirinya nggak bisa melakukan apa-apa. “Suatu hari nanti, saya berjanji akan menikahi Verena, Nek.”
Verena terhenyak dan menatap cowok di sampingnya itu. Bahkan pikirannya belum sampai sejauh itu. Menikah.
“Saya tidak minta kamu menikahi Verena, Rezandy. Saya ingin kamu membuktikan. Apa yang membuat saya bisa menerimamu sebagai calon suami dan pada akhirnya suami sah bagi Verena? Kalian cucu saya, tentu saya menyayangi kalian. Tapi bukan berarti sebagai laki-laki kamu lepas tanggung jawab.”
“Saya akan bertanggung jawab atas semua perbuatan saya, Nek. Maka dari itu saya ingin menikahi Verena.”
Mau nggak mau Verena sedikit tersentuh juga di lamar secara tidak langsung begini, di depan Nenek Runi pula!
“Kalau begitu, buat saya menyetujui hubungan kalian. Buat saya menerima kamu, Rezandy, sebagai calon suami Verena. Jangan karena kamu adalah cucu saya dan saya sudah tahu duduk permasalahannya, bukan berarti kamu tidak perlu meminta ijin pada saya.”
Zandy bukanlah ahli dalam mengambil hati orang, berbasi-basi serta berbicara resmi dan sopan. Dalam bayangannya, saat dia melamar calon istrinya nanti, tinggal Ayahnya yang berbicara. Tapi siapa sangka taunya dia harus berbicara sendiri, pada Nenek Runi pula.
“Saya berjanji akan jadi suami yang baik bagi Verena. Saya akan jadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dan menyayangi Verena seumur hidup saya.”
Verena mengerjap-ngerjapkan amtanya, bingung kenapa cowoknya bisa jadi berkata-kata seperti itu.
“Dan di mulai dari?”
“Saya akan mulai dari sekarang. Saya akan tunjukkan ke Nenek, ke orangtua, ke keluarga kita, kalau saya pantas bersama Verena, tidak peduli dengan status kami sebagai sepupu sedarah. Saya akan jadi orang sukses dan bergabung dengan Handoko Group. Nenek bisa pegang omongan saya.”
Bahkan dia membawa-bawa nama Handoko Group! Verena jadi takjub mendengarnya. Berjanji di depan Nenek Runi tentu saja bukan hal yang main-main. Apalagi sudah berjanji untuk masuk ke Handoko Group.
Nenek Runi tersenyum hangat. “Saya pegang omongan kamu, Rezandy. Kamu tentu tahu, apa resikonya jika kamu tidak bisa memenuhi target yang kamu sebutkan tadi. Sara rasa semuanya sudah cukup jelas sekarang. Tidak ada yang melarang hubungan kalian. Tapi tetap jaga sikap di depan public. Saya tidak mau ada berita macam-macam lagi yang beredar.” Nenek Runi memutar kursinya, menghadap ke luar jendela. “Kalian bisa keluar.”
Verena dan Zandy hampir nggak percaya akan apa yang mereka dengar. Secepat ini? Padahal mereka kira, mereka bakal tertahan di sini selama berjam-jam, memohon-mohon sambil nangis darah. Ternyata mereka tidak mengenal nenek mereka sendiri dengan baik.
Verena tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya, begitu juga Zandy. Mereka pun keluar dari ruangan Nenek Runi, dengan kehidupan yang baru.
Tentu aja kabar Zandy punya hubungan khusus dengan Verena langsung tersebar luas ke masyarakat. Nggak tau deh, pada tau dari mana orang-orang itu.
Pada saat Zandy dan Verena kembali masuk sekolah lagi, banyak orang yang memandang mereka dengan tatapan aneh, jijik, sekaligus melongo. Tapi setelah beberapa minggu, mereka jadi terbiasa.
Zandy pun mulai mengubah kebiasaannya, mengingat janjinya dengan Nenek Runi. Setelah kejadian lamar-lamaran itu, Zandy nggak pernah lagi membahas soal pernikahan dengan Verena. Jadi Verena pun nggak ambil pusing soal itu. Malu dong, kalau cewek mulai ngomongin soal itu duluan, apalagi dalam hal ini cowoknya adalah Zandy yang susah buat diajak serius.
Para sepupu-sepupu mereka juga tidak mengucilkan mereka. Bahkan mereka sering jadi center of attention dan jadi bahan lucu-lucuan. Apalagi karena Zandy yang sok jual mahal sama Verena selama ini, taunya kecantol juga. Tentu aja yang paling semangat ketawain dia adalah Dipta dan Davin (yang dipengaruhin Dipta).
“Ini jadi ditambahin, hasilnya di tambahin yang pertama ini, baru di kali?”tanya Zandy.
Hari ini mereka sedang belajar bersama. Kalau aja hubungan mereka belum ketauan sama keluarga, mereka bisa aja belajar di rumah Verena atau Zandy dengan santai. Tapi keduanya enggan buat bertamu ke rumah masing-masing. Orangtua mereka belum sepenuhnya bisa menerima keadaan ini. Alhasil mereka jadi belajar di perpustakaan, sepulang sekolah.
Verena mulai frustasi. Nggak nyangka ternyata pacarnya ini lemot banget! Sudah diulang 2 kali dalam variasi soal yang berbeda dan dipilih yang paling mudah, tetap aja nggak nyambung-nyambung.
“Ndy, aku harus gimana sih, biar kamu ngerti? Dari tadi kamu dengerin aku nggak, sih?”
“He-eh. Dengerlah. Maaf ya, aku nggak ngerti-ngerti dari tadi.” Dikecupnya pipi Verena sekilas.
Verena paling nggak bisa kalau udah dirayu Zandy kayak gini. Rasanya semua emosi yang sudah siap keluar lenyap seketika.
Verena mengambil pensil dari tangan Zandy dan mulai mejelaskan lagi. “Ini kalau di tambahin dulu, jadi hasilnya beda, Ndy. Jadi harus kamu tambahin dulu yang di dalam kurung ini, di kali sama yang ini, baru nanti hasilnya ditambah ama yang pertama.”
“Ooooh. Emangnya hasilnya bisa beda, ya? Kan sama aja ditambah di kali juga.
“Tapi ini yang ada di dalam kurung, berarti dikerjain duluan. Emang dari sananya begitu, Ndy. Coba aja kerjain pakai cara kamu dan cara aku. Pasti beda.”
Zandy memilih untuk tidak membantah Verena lagi, karena dia sadar dirinya emang nggak tahu apa-apa, apalagi soal Matematika.
Akhirnya dalam waktu satu jam kemudian, Zandy bisa mengerjakan latihannya hari ini dengan lancar.
“Nah, kalau begini terus kan aku seneng, kamunya jadi pinter,”kata Verena sambil membereskan alat-alat tulis mereka.
“Kalau aku nggak kayak gini dan aku nggak pinter, bisa-bisa aku nggak boleh nikah sama kamu, Ren.”
Verena jadi blushing mendengarnya. Ini pertama kalinya Zandy membahas ini lagi. Verena kira selama ini itu hanya bualan semata biar bisa bebas dari Nenek Runi. Tapi tidak disangka kalau Zandy serius.
Verena masih pura-pura sibuk membereskan alat-alat tulis mereka, dan tangan Zandy menangkap tangan cewek itu. Disematkannya sebuah cincin ke jari manisnya, yang membuat Verena nggak bisa berkata apa-apa.
“Cincin ini aku pesan dari Seanna. Kalau kamu mau tau, cincin ini cuman ada satu di dunia, karena originally rancangan Seanna. Terlihat sangat indah dijarimu.”
Mata Verena berbinar menatap cincin dengan ring yang berbentuk seperti akar berambat berwarna perak, yang mengikat sebuah batu berlian. “Ndy, ini terlalu― I can’t.”
Zandy mencium bibir Verena untuk mendiamkan gadis itu. Dibelainya lembuat pipi Verena. “Nggak ada kata ‘terlalu’ untuk kamu. Bagiku, semua di dunia ini, masih kurang untukmu. Karena yang aku berikan, cuman seonggoh batu kerikil, dan kamu adalah berliannya.”
Mata Verena sampai berkaca-kaca mendengarnya. Nggak disangka Zandy bisa jadi sepuitis ini! Dan yang terpenting dari sorot dan ekspresinya menandakan keseriusan!
Dipeluknya cowok itu dengan erat. “Thanks, Ndy. You’re the best!”
“Tapi cincin itu cuman buat simbolis aja ya, Ren. Kamu jangan merasa terikat atau apa. Kamu masih tetap bebas kok, milih yang lain.”
Verena mencium pipi Zandy, lama dan dalam. “I’m yours, Prince!”