Sabtu, 11 Juli 2009

Never Give Up In Love part 5

Keesokan harinya, Zandy merasa badannya sangat tidak enak ketika baru bangun. Kepalanya sakit bukan main. Tubuhnya lemas. Dengan langkah gontai, Zandy berjalan menuju meja disudut ruangan dan mengambil HPnya. Diteleponnya Verena.

“Hei. Udah di mana? Macet ya?”

Sorry, Ren. Aku nggak bisa jemput kamu. Aku sakit.” Bahkan suara Zandy parau dan nyaris terdengar.

“Sakit apa? Aku ke sana, ya.”

“Nggak usah! Kamu sekolah aja. Kayaknya cuman demam biasa.”

“Tapi—“

“Kamu sekolah aja. Aku nggak pa-pa. Maaf nggak bisa jemput hari ini. Hati-hati, ya.”

“Ya udah, deh. Tapi nanti pulang sekolah boleh jenguk kan?”

“He-eh.”

Take care ya, Ndy.”

Setelah mematikan telepon Zandy keluar dari kamarnya. Dia turun dari tangga berlahan. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi.

Di meja makan sudah tidak ada orang. Ghaniya dapat dipastikan sudah berangkat kerja. Sedangkan Dya mungkin sudah pergi juga. Mengingat kakaknya yang satu itu kadang-kadang malas dan suka bolos kuliah.

Zandy menuangkan susu ke dalam gelas dan meneguknya sampai habis. Tapi ternyata itu tidak membuatnya lebih baik juga. Dia berjalan menuju lemari tidak jauh dari meja makan yang menyimpan obat-obatan dan meneguk 2 sekaligus walaupun seharusnya hanya satu. Lalu dia menjatuhkan diri di sofa.

Zandy sendiri jarang sakit selama ini. Dia selalu bisa menjaga stamina tubuhnya dengan baik. Mungkin akhir-akhir ini dia terlalu lelah. Terlalu banyak pikiran. Verena. Suaranya terdengar begitu panik tadi. Bahkan Zandy sempat ragu kalau dirinya tidak akan bisa meyakinkan Verena untuk tidak datang ke sini. Tapi ia bersyukur karena ceweknya itu masih mau mendengar kata-katanya.

Akhirnya Zandy tertidur di sofa. Dia sudah tidak sanggup lagi walaupun hanya sekedar naik ke kamarnya.

Zandy bermimpi. Dia melihat wajah Verena yang berseri-seri. Derai tawanya yang begitu indah di telinga Zandy. Berlari-lari dan Zandy mengejarnya. Tapi tiba-tiba saja senyum itu hilang. Verena berhenti berlari. Wajahnya berubah sedih. Dan berlahan dia meninggalkan Zandy.

Zandy terbangun dari tidurnya. Berharap kalau dirinya tadi tidak berteriak.

“Ndy? Kamu nggak pa-pa?”

Zandy tersadar kalau dirinya masih berada di sofa ruang keluarga. Dan kini di sampingnya duduk, Verena yang masih dengan pakaian seragam putih abu-abunya.

Spontan Zandy langsung menarik Verena ke pelukannya.

“Hei, are you okay?” Verena kembali bertanya.

Zandy teringat kembali dengan sakit di kepalanya dan dia mengerang pelan.

Verena melepaskan diri dari Zandy. “Apa yang sakit?”

Zandy menyenderkan kepalanya ke sofa. “Kepalaku, nih. Sakit banget.”

“Udah minum obat?”

“Udah. Bahkan ampe 2 tablet sekaligus.”

“Ya, ampun. Nanti kamu bisa overdosis! Minum sesuai takaran dong, Ndy!” Verena meraba kening Zandy. “Badan kamu panas banget. Aku anter ke dokter, ya.”

“Nggak usah. Gue paling benci ama bau rumah sakit di Indonesia."

Verena memandang Zandy bingung. Kok bau rumah sakit dijadiin alasan?

“Zandy? Verena?” Zandy menoleh ke sumber suara itu. Di dekat mereka sudah ada Dya dan sahabatnya, Bagas.

Verena langsung melepaskan tangannya dari kening Zandy dan bangkit. Dirinya langsung mati gaya. “Umm…aku—eh gue, beliin obat dulu, ya Ndy. Gue tau obat yang manjur.” Verena lalu keluar dari ruangan.

Dya duduk di samping Zandy. “What’s wrong, Ndy? Kok ampe Verena dateng segala.” Dya memperhatikan wajah Zandy yang pucat. “Are you sick?” Dya meraba kening Zandy dan langsung menariknya. “Oh, Gosh, Ndy. Badan lo panas banget. Gue panggilin dokter, ya.” Berbeda dengan Verena yang menawarkan Zandy buat dibawa ke rumah sakit, sebagai kakak, Dya sudah tau adiknya anti dengan bau rumah sakit.

“Nggak usah, Ya. Nanti juga baikkan.”

“Udah minum obat?”

Zandy nggak mau lagi membahas soal 2 tablet sekaligus yang dia minum tadi. “Kan lagi dibeliin, Verena.”

“Eh, bentar, ya. Gue mau ke atas dulu. Ngambil tugas-tugas kuliah gue.” Dya bangkit dan keluar melewati Bagas.

Bagas yang sejak tadi diam saja duduk di samping Zandy menggantikan posisi Dya. “So? Kalau nggak salah yang tadi itu Verena Prasetyo kan?”

Zandy sudah bisa mencium ke arah mana pembicaraan Bagas. Sahabat kakaknya ini memang unik. Bagas dengan mudah bisa membaca keadaan.

“Lo bisa tebak apa kan?” Zandy berusaha terdengar senormal mungkin. Dia tidak menyangka kalau memberitahukan keluarganya bakalan lebih sulit daripada memberitahu teman-temannya (dalam hal ini Zandy yakin memberitahu Bagas sama saja memberitahu Dya. Mengingat mereka sangat dekat dan nyaris tidak ada rahasia).

“Lo tau apa yang lo lakuin?”

Zandy mengangguk.

Bagas menepuk bahu Zandy ringan. “Jalanin terus, Ndy. Jangan nyerah. Gue dukung lo 100%.”

Thanks.” Ini sifat yang Zandy suka dari seorang Bagas. Bagas selalu bisa ngerti keadaan orang lain. Zandy sudah pernah menanyakan pada Dya kenapa nggak jadian aja ama Bagas. Tapi Dya hanya menjawab ringan, “we’re best friend for-e-ver! Remember that! For-e-ver!” Setelah itu pun Zandy tidak mau mengusik hubungan kakaknya dengan Bagas lagi. Toh, selama ini Dya juga nggak terlalu ikut campur dengan kehidupan cinta Zandy.

“Gue yakin keluar lo pasti belum tau ini. Dan lo pasti udah mikirin resikonya kalau keluar lo tau kan?”

“Yeah. Mereka pasti tau cepat atau lambat. Bahkan sepertinya Dya bentar lagi bakalan tau.”

Bagas terkekeh. “Gue nggak sebocor itu juga kali. Nggak sebentar lagi. Paling dalam beberapa hari. You know, your sister is a good one. Lo bisa bicarain ini dengan dia. Tapi dengan Ledya aja, ya. Gue nggak yakin kalau dengan Ghaniya, is that a good idea or not.

Zandy pun tau kalau menceritakan hal ini dengan Ghaniya sama aja bunuh diri. Tapi menurutnya kata-kata Bagas ada benarnya juga. Mungkin dia butuh pihak keluarga yang bisa memberinya saran. Walaupun Dipta dan Davin yang selama ini dekat dengannya, tapi mereka pasti nggak bakalan memberi solusi yang baik. Well, Dya kelihatannya oke.

Dya kembali dengan setumpuk kertas-kertas yang merupakan tugas kuliahnya. Zandy yakin pasti kakaknya ini mau minta bantuan Bagas.

Bagas pamit untuk pindah lokasi. Ke tempat favorit Dya dan Bagas di rumah ini: ruang tamu.

Zandy kembali berbaring. Memejamkan matanya.

Dia tidak kepikiran kalau Bagas bisa secepat itu menebak hubungannya dengan Verena. Zandy juga bertanya-tanya, memangnya hubungannya dengan Verena sampai terlihat begitu jelasnya?

“Ndy, minum dulu obatnya, nih.” Suara Verena kembali membangunkannya. Dilihatnya Verena sudah duduk di sampingnya, menyodorkan 2 pil di tangannya dan segelas air padanya.

Zandy membuka mulutnya lebar, meminta Verena memasukkan obat itu ke dalam mulutnya.

Verena memutar bola matanya. “Manja banget sih, lo.” Lalu dimasukkannya 2 pil obat itu ke dalam mulut Zandy dan meminumkan segelas air padanya.

“Eh, kita ketauan ama Bagas.”kata Zandy.

Verena meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja di hadapannya dan menatap Zandy bingung. “Ketauan apa?”

Zandy menunjuk dirinya dan Verena bergantian. “Ketauan soal kita.”

Verena melotot. “Kok lo bisa ember gitu, sih? Lo sendiri yang bilang kalau kita biasa-biasa aja, nggak usah ngasih tau siapa-siapa. Itu kan temennya Kak Dya!”

“Ren, gue nggak ngasih tau. Penting banget apa gue ngasih tau dia segala?”

Verena menghela napas. Dia berbaring di atas sofa, dengan kepala di pangkuan Zandy. “Capek juga, ya Ndy.”

“Semua kan butuh pengorbanan, Ren.”

“Kalau misalnya udah nggak ada yang bisa dikorbanin lagi, gimana, Ndy?”

Zandy menunduk, menatap Verena yang juga sedang menatapnya. “Ren, kalau emang lo merasa berat ngejalanin semua ini…” Zandy menghela napas. “It’s okay. Kita bisa —“

Verena meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Zandy untuk mendiamkannya. “Sssst! Don’t say that word. Aku cuman mau berkeluh kesah aja, cerita perasaan aku ke kamu, bukannya mau nyerah. Remember that, Verena Maulidhya never give up.”

Zandy menyapukan jarinya di bibir Verena. “Bagus! Itu baru ceweknya Rezandy!”

Verena terkekeh.

Zandy membungkuk untuk mencium Verena. Tepat saat bibirnya hampir menyentuh bibir Verena, terdengar teriakkan Dya, “Zandy!”

Zandy refleks menjauhkan wajahnya dari wajah Verena, dan Verena langsung bangun dari pangkuan Zandy, bangkit berdiri, merapihkan pakaian seragamnya dan menatap Dya dengan khawatir.

Dya menghampiri mereka. “What the hell is that!? Lo gila, ya?”

Bagas muncul dari belakang Dya dan berusaha menenangkan sahabatnya itu. “Ya, biarin mereka ngejelasin dulu.”

Dya berbalik menatap sahabatnya. “Jangan bilang lo udah tau soal ini?”

Bagas hanya diam.

Dya memukul lengan Bagas.

Bagas mengelus-elus lengannya, “baru tadi kok, Ya. Sumpah!” Bagas mengacungkan dua jarinya.

Dya berbalik menatap adik dan sepupunya. “Sekarang, apa penjelasan kalian? Jangan bilang tadi itu cuman kecelakaan, nggak sengaja, atau bahkan cuman nafsu sementara!”

Napas Verena tertahan ketika Dya mengucapkan kata-kata terakhirnya.

Ekspresi Dya melunak, dan suaranya memelan, “Ndy, gue tau lo player. Tapi please, bisa nggak sih, bukan sepupu lo sendiri, dan bukan di rumah ini? Lo jangan ngancurin anak orang lagi, Ndy.”

Zandy masih juga diam, sedangkan Verena bingung ingin bilang apa dan hanya bisa berharap Zandy yang akan menjelaskan. Yang jelas satu yang ada di benak Verena sekarang: seluruh keluarganya, bakal tau.

“Jawab gue, Ndy! Gue nggak nyangka kalau adek gue ternyata —“

I’m in love with her!” Verena terlonjak kaget mendengar Zandy yang tiba-tiba berteriak.

Dya tertawa sumbang. “Tell me you are joking.”

“Gue serius. Gue nggak main-main.” Zandy berdiri dan merangkul Verena. “Kita udah jadian.”

Dya memandang Verena dan Zandy dalam diam. Dirinya masih tidak percaya dengan kejadian yang barusan ia lihat, dan sekarang pengakuan adiknya. Dya terduduk di sofa, memandang kosong ke depan. Entah siapa yang harus disalahkan. Semuanya sudah salah sejak awal, Dya tahu itu. Sekarang semuanya sudah terlalu jauh.

“Ndy,”kata Dya dengan suara pelan dan lembut, “kita harus bicarain masalah ini baik-baik. Gue nggak tau harus ngomong apa ke elo. Gue juga nggak mau masalah ini ampe ketauan sama Ayah dan Ibu, apalagi Nenek Runi. Jadi gue rasa, selama masalah ini masih bisa kita selesain sendiri, selesain dulu. Dipta atau Davin belum tau soal ini kan?”

Zandy dan Verena menggeleng bersamaan.

Dya menyenderkan punggungnya ke punggung kursi. “Lo pasti bisa tebak apa yang bakalan gue minta ke lo berdua.”

Tangan Zandy yang melingkari tubuh Verena mengerat. “Lo juga pasti udah tau apa jawaban gue.”

“Ya, ya, ya.” Dya memejamkan matanya dan memijat-mijat pelipisnya sendiri. Tiba-tiba saja kepalanya jadi pusing. Dya tahu kalau masalah ini tidak boleh diketahui siapa-siapa. Apalagi Ghaniya, dia bisa langsung mengamuk kalau tahu masalah ini. Juga Danar, yang selama ini sudah memasang lampu kuning pada Zandy. Sekarang posisi Dya serba salah. Jalan satu-satunya hanya memisahkan mereka, tapi Dya tahu itu tidak mungkin. Dya membuka matanya, 3 pasang mata tertuju padanya, menunggu. “Kalian sampai kapan mau begini? Kalau kalian masih mau mempertahankan hubungan kalian, kalian pasti tau kalau nanti akhirnya pasti ketauan.”

“Kita kayak gini, udah mikirin semuanya matang-matang, Ya. Kita tahu konsekuensi yang harus kita terima. Apa pun yang terjadi, gue nggak bakalan ninggalin Verena,”jawab Zandy mantap.

“Mbak Dya, maafin Verena ya,”kata Verena lirih, “Rena nggak maksud buat pusing keluarga, atau ngancurin hubungan keluarga kita. Tapi ini sesuatu yang nggak bisa Verena hindari, Mbak.”

“Gue tau ini bukan salah kalian. Gue nggak bakal bilang ini ke siapa pun. Gue biarin aja mereka semua tau dengan sendirinya. Gue harap, saat waktunya tiba, kalian udah siap. Gue dukung kalian sepenuhnya dan gue yakin pasti kalian bisa ngelewatin ini semua.”

Zandy tersenyum tulus. “Thanks, Ya. Ghani jangan sampe tau, ya.”

“Nggak bakal. Gue tau gimana sifat kakak kita itu.”

“Mmm…Ya,”kata Bagas ragu-ragu, “tugas lo masih ada 25 nomer lagi, gimana?”

Dya menepuk bahu Bagas pelan. "What bestfriends are for! Lo kerjain ya."

Bagas langsung lemes.

“Bener lo udah nggak pa-pa?”tanya Verena. Verena agak ragu ketika Zandy mengajaknya jalan hari ini. Apalagi kemarin dia masih menemani Zandy sampai malam karena panas Zandy nggak turun-turun.

Zandy tertawa pelan. “Kamu terlalu khawatir. Kamu pikir aku selemah itu?”

“Siapa yang bilang kamu lemah? Playboy cap hiu mana ada yang lemah! Kerjanya makanin ikan cantik.”

Zandy tertawa sambil memukul-mukul stir mobilnya. “Ya ampun, Ren! Jangan ikan, dong! Emang lo ama gue seamis itu apa?”

Verena menepuk lengan Zandy pelan. “Eh, ngomong-ngomong soal ikan. Hari ini bukannya Ayah kamu ulang tahun?”

“Ah! Lupa gue!”

“Dasar, anak kurang ajar. Masa ulang tahun ayah sendiri nggak inget.”

“Jangan gitu dong kamuuu…”kata Zandy sok manja, “aku kan lupa. Wajar dong kalau orang lupa. Jadi gimana, nih? Nggak jadi nonton deh, kita. Batal deh kencan kita.”

Verena nggak habis pikir soal cowoknya yang satu ini. Bahkan Zandy masih juga menyayangkan kencan mereka padahal jelas-jelas ulang tahun ayahnya hanya terjadi sekali dalam setahun.

“Kan bisa kapan-kapan. Yang penting sekarang Ayah kamu dulu.”

Zandy menghela napas. “Emang nggak ada waktu santai ya, buat kita? Oke, deh. Puter balik. Kita ke supermarket.”

Zandy mendorong troli belanja yang sudah penuh dengan makanan. Di depannya, Verena berjalan sambil melihat ke rak-rak makanan. Begitu mereka lewat di depan cokelat dan permen-permen, Zandy langsung menyambar satu pak besar permen dan satu pak cokelat dan memasukkannya ke dalam troli.

Verena yang melihat tindakkan Zandy barusan berbalik dan menatap Zandy sambil berkacak pinggang. “Eh, jangan rakus, dong!” Verena menunjuk ke troli mereka, “baru aja nyampe, troli kita udah penuh! Mending isinya bahan-bahan makanan buat masakin bokap lo! Isinya makanan lo semua!”

“Nggak papa dong. Boleh boleh aja, kan gue belanja? Biasanya yang beli makanan di rumah si Bibi, mana ngerti cemilan kesukaan gue.”

Verena mencibir. “Zandy sayaaaang….kalau lo ngambilin makanan lo terus, gue nggak bakalan bantuin lo hari ini.”

Zandy mencolek pipi Verena. “Jangan ngambek gitu, dong.”

Verena menepis tangan Zandy. “Jijik lama-lama gue ama lo!”

Pertengkaran mereka terus berlanjut selama mereka berbelanja. Zandy mendorong kereta belanja sambil mengikuti Verena yang mondar-mandir mengambil bahan-bahan. Sedangkan setiap mereka melewati rak cemilan, Zandy mengambil banyak-banyak cemilan kesukaannya, dan Verena akan kembali mengomel. Alhasil mereka bisa jadi orang terlama yang bayar di kasir.

Saat sampai di rumah Zandy, Verena melarang siapa pun untuk membantu Zandy menurunkan belanjaan dari mobilnya.

“Turunin sendiri!”kata Verena sambil berkacak pinggang. “Ini kan belanjaan lo semua!”

Zandy akhirnya berhasil menurunkan semua belanjaannya setelah 4 kali mondar mandir.

Mereka pun mulai memasak.

Seumur-umur Zandy tidak pernah memasak. Bahkan berapa kali dia masuk dapur rumahnya sendiri, bisa dihitung dengan jari. Selama ini dia hanya tinggal teriak minta ingin makan apa. Sedangkan Verena memang dididik oleh ibunya dalam urusan dapur.

“Ambil pisau, Ndy. Terus lo potongin nih, sosis, bawang, ama segala macemnya,”perintah Verena.

Zandy jadi kebingungan sendiri. Dia membuka laci dari ujung ke ujung untuk mencari pisau.

“Jangan bilang lo nggak tau letak pisau di dapur lo sendiri di mana?”tanya Verena sambil mengeluarkan bahan-bahan dari dalam kantong plastik.

“Yah, Ren. Gue mana tau kalau soal dapur.”

“Nanti misalnya kalau ada maling masuk ke rumah lo, dan lo nggak tau letak pisau di mana, gimana?”

“Nggak mungkinlah. Kan ada Pak Agus yang jagain di depan.”

“Gimana kalau Pak Agus udah ambruk duluan?”

“Ya, pake pistol aja. Atau nggak tinggal telpon polisi.”

Verena berdecak lalu membuka laci dan mengeluarkan pisau dan meletakkannya di atas talenan. Dia heran sendiri sama Zandy, masa letak pisau di dapur sendiri nggak tau?

Zandy mulai memotong sosis sedangkan Verena merebus spaghetti.

“Kenapa harus dikasih mentega, Ren?”tanya Zandy polos ketika melihat Verena memasukkan mentega ke dalam rebusan spaghettinya.

“Biar nggak lengket.”

Verena melihat hasil kerja Zandy dan langsung mengomel frustasi, “ya ampun, Ndy. Kira-kira dong, masa satu sosis cuman jadi 3 potong?” Verena merebut pisau dari tangan Zandy dan mempraktekkan cara yang benar. “Motongnya lebih tipis lagi. Kalau kamu motong sebesar tadi, mending nggak usah dipotong.”

Selanjutnya Zandy kembali melakukan kesalahan-kesalahan lain, sampai Verena kesal dan mengusirnya dari dapur. Begitu Zandy keluar pun dia masih menganggu. Bentar-bentar mengintip ke dalam dapur untuk memastikan. Alasannya, “siapa tau gosong”, atau yang gombal kayak, “aku takut kamu masuk ke dalem pancinya, Sayang” “takutnya nanti kamu lebih manis daripada makanannya” dan akhirnya Verena mengunci pintu dapur. Tapi begitu pintu dapur dikunci, wajah Zandy muncul di jendela.

“Rezandyyyy…” Verena menggeram marah. “Ngintip sekali lagi, kita putus!”

“Aduh. Kok galak, sih?”

Verena mengacungkan pisaunya ke arah Zandy dan Zandy langsung kabur.

Verena melihat bayangan seseorang dari jendela dan kontan langsung berbalik dan mengacungkan pisaunya. Tau-taunya yang muncul adalah Dya.

“Aduh, Mbak Dya. Maaf. Rena kira tadi Zandy.”

Dya tertawa cekikikan. “Maafin adekku yang satu itu, ya. Emang suka gangguin orang. Gimana? Udah selesai?”

“Udah. Tinggal di tempatin aja.”

“Boleh aku bantuin?”

“Boleh. Masuk aja, Mbak.”

Dya memandang ke arah pintu. “Kayaknya nggak muat kalau dari jendela, Ren.”

Verena tersipu malu dan membukakan pintu untuk Dya.

Berbeda dengan Zandy yang nggak tau apa-apa dan nggak bisa apa-apa kalau udah menyangkut dapur, Dya lebih cekatan. Walaupun selama ini Ibunya jarang di rumah, tapi dia selalu belajar banyak dari Nenek Runi.

“Gimana? Ama Zandy lancar-lancar aja kan?”

Verena merasa kurang enak dengan topik pembicaraan mereka kali ini. “Ya.”

“Sabar, sabar ya, kalau ngadepin dia.” Setelah selesai menumpahkan spaghetti ke saringan dan menggoyang-goyangkannya sampai airnya turun, Dya menempatkannya di sebuah piring besar. Lalu ditatapnya Verena yang hanya berdiri diam. “Maksud gue, jangan pernah nyerah. Setelah gue pikir-pikir, hubungan kalian ini emang patut diperjuangkan.”

“Thanks Mbak, atas dukungannya.”

Ayah Zandy langsung terkesan begitu diberi sambutan ketika sampai di rumah. Zandy langsung memamerkan spaghetti di atas meja makan, sebagai hasil karyanya, dan hadiah untuk ulang tahun ayahnya. Mau nggak mau yang ulang tahun terharu juga, karena tahun ini anak bungsunya ingat ulang tahunnya.

Ayah dan Ibu Zandy sempat kaget melihat kehadiran Verena. Tapi Verena langsung menjelaskan kalau kehadirannya di sini untuk membantu Zandy. “Bahkan ini semua bukan Zandy yang buat, Tante, Oom. Dia cuman bisa ngerusak aja.”

“Oom sama Tante percaya, kok. Mana mungkin,” Ayah Zandy menepuk punggung anaknya, “dia bisa masak kayak gini!”

Zandy jadi cemberut. Dia menatap Verena nggak setuju. Ngapain sih, tuh anak cerita-cerita?

Setelah mereka selesai makan, semuanya memuji kelezatan masakan Verena. Dan mereka mengobrol. Jarang-jarang ada momen untuk keluarga berkumpul semua. Verena jadi nggak enak hati karena harus menganggu kebersamaan mereka. Tadinya dia udah mau pamit pulang, tapi Oom dan Tantenya menahan.

“Gimana Zandy, di sekolah, Verena?”

Zandy sedikit melotot ketika mendengar perkataan Ibunya barusan. Sejak kapan Ibunya begitu mau tahu seperti itu? Dan kenapa harus tanya ke Verena segala, sih?

“Akhir-akhir ini sih, nggak ada masalah, Tante.” Verena memberi pandangan apda Zandy. “Nggak tau juga ya, nantinya gimana.”

Zandy mendengus. “Udah deh, Ibu sama Ayah nggak usah bahas ini lagi. Zandy udah berubah kok, sekarang. Kapok sama hukuman Nenek Runi.”

“Tapi Oom percaya sama Verena. Pasti kamu bisa buat Zandy jadi anak baik selamanya.”

Verena hanya tersenyum kecil.

Malam sudah sangat larut, tanpa sadar mereka terus berbincang dan bercanda bersama. Orangtua Zandy menawarkan Verena untuk menginap di rumah mereka, dan Verena dengan sedikit enggan menerimanya. Verena nggak berani buat nyetir malam-malam gini sendirian.

Jadilah malam itu dia tidur dengan Dyad an pakai piamanya Dya.

“Ternyata Oom Dhimas dan Tante Denada asik juga, ya. Selama ini mereka nggak pernah banyak ngomong sih, kalau ada kumpul-kumpul di rumah Nenek Runi.”

Dya tersenyum. “Bisa dibilang mereka cuman simpan sifat itu buat kita anak-anaknya. Lagian cuman kadang-kadang aja mereka begitu. Biasanya sih selalu strick sama aku, Zandy, dan Ghaniya.”

Pintu kamar Dya diketuk. Dya turun dari tempat tidurnya dan membuka kunci pintu kamarnya. Zandy sudah berdiri di depan pintu kamar Dya dengan senyum lebar di wajahnya.

“Mau apa?” Dya bertanya agak ketus, kurang suka diganggu malam-malam begini.

Zandy menunjuk Verena yang sudah setengah berbaring di tempat tidur.

Dya memukul pelan lengan Zandy. “Bukan muhrim tau!”

“Aduh, Ya! Lo ngeres banget, ya!”

“Tanya aja gih, ke orangnya sendiri!” Dya membuka pintu kamarnya lebih lebar sampai Verena terlihat jelas oleh Zandy.

“Ren? Kamarku, yuk.”

Verena menatap Dya lalu menggeleng. “Kan nggak enak sama keluarga kamu. Gimana, sih?”

Zandy memutar bola matanya. “Come on, Ren. Spent the night with me. Kita ngobrol-ngobrol.” Zandy melirik ke arah Dya. “Tenang aja, Ayah sama Ibu nggak perlu tau, kamu juga udah denger sendiri kan dari Dya? Ini terserah kamu. Kalau Ghaniya nggak usah ditanya.”

Verena menggigit bibirnya, bingung.

“Kalian kayaknya emang butuh banyak bicara, deh,”kata Dya. “Apalagi soal masalah kalian itu. Tapi inget, Ndy. Nggak ada tidur bareng. Kalau lo mau tidur, di lantai! Kalau nggak mau juga, mending nggak usah tidur! Atau nggak kamu bisa balik ke sini lagi, Ren. Ketok aja."

Verena merasa kalau masalah mereka memang harus diomongin lagi. Apalagi setelah kedekatannya dengan Oom Dhimas dan Tante Dena tadi. Dirinya jadi merasa lebih bersalah karena sudah menutup-nutupi hubungan mereka. Bahkan dirinya dianggap membawa pengaruh baik bagi Zandy.

“Mbak Dya, bener. Aku dan Zandy butuh bicara. Banyak.” Verena turun dari tempat tidur dan mengikuti Zandy ke kamarnya.

“Kita harus kasih tau orangtua kamu,”kata Verena begitu Zandy menutup pintu kamarnya.

Zandy berbalik dan memandang Verena. “Jadi kamu memang serius mau ngomong?”

“Kan kamu yang emang sejak awal ngajakin ngomong?”

“Tapi itu kan cuman― Okay, kalau memang kamu mau ngomongin ini.”

Verena duduk di pinggir tempat tidur Zandy, menatap kosong ke depan. “Aku nggak sanggup. Kita udah bohongin banyak orang. Bahkan orangtua kita sendiri! Nggak mungkin kan, kita begini seumur hidup?”

“Tapi apa kamu yakin, dengan kasih tau ke keluarga adalah jalan yang terbaik? Apa kamu nggak mikirin konsekuensinya bagi hubungan kita?”

“Sejak awal hubungan kita udah penuh dengan konsekuensi, Ndy.”

“Mereka bisa misahin kita, Ren!” Zandy sadar suaranya terlalu keras. Terlalu keras untuk didengar keluarganya juga terlalu keras untuk berbicara dengan pacarnya sendiri. “Maaf, Ren. Aku cuman nggak mau terjadi sesuatu sama hubungan kita. Kita baru mulai, ini semua nggak harus berakhir secepat ini kan? Kita pasti udah sama-sama tau, apa yang akan mereka lakuin begitu tau soal kita.”

Verena mulai menitikkan air mata yang sejak tadi ditahannya. Dulu, sebelum bersama Zandy, dia bukan gadis cengeng seperti ini. Dia sendiri bingung kenapa akhir-akhir ini dirinya begitu sensitif. Begitu mudah tersentuh, marah, dan menangis.

Zandy merangkul Verena ke dalam pelukannya. Tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Menunggu Verena tenang.

Verena mengubur wajahnya di dada Zandy. Kedua tangannya memeluk tubuh cowok itu erat dan kalau bisa ia tidak mau lepaskan. Dirinya sadar, kalau sudah jatuh terlalu dalam bersama Rezandy, sepupunya sendiri. Mereka harus ditarik keluar, yang berarti dipisahkan satu sama lain. Verena juga tidak mau itu terjadi.

“Aku takut, Ndy.” Verena mengatakannya dengan suara lirih dan bergetar.

Zandy membelai Verena berlahan. “Sssst. Darling, it’s gonna be okay. I’m here. Everything will be alright.”

Keesokan harinya mereka sukses bangun kesiangan, karena semalaman Verena nggak bisa berhenti nangis dan Zandy dengan setia menenangkannya. Bahkan sampai peringatan Mbak Dya untuk nggak tidur bareng, mereka langgar, karena Verena nggak mau ngelepasin tangannya dari Zandy bahkan sampai bangunpun tangan Verena masih melingkar dengan setianya di tubuh cowok itu.

“Rasanya males bangun deh, Ndy,” Verena merajuk.

Zandy memberikan kecupan selamat pagi di pipi Verena. “Sejak kapan kamu jadi males begini, hah?”

“Pasti mataku bengkak, ya?”

Zandy menyentuh sekeliling mata Verena dengan jarinya, lembut. “Nggak terlalu, kok, Sayang. Masih tetap cantik seperti biasanya.”

“Gombal, deh!”

Zandy tersenyum nakal. “But I know you like it.”

Diciumnya bibir Verena lama. Membiarkan perasaan penuh cinta itu mengalir di antara mereka. Membuat aliran listrik yang menggelitik. Ciuman yang semakin membuat keduanya enggan untuk memisahkan diri. Penuh kerinduan dan keinginan.

“Zandy!”

Spontan Zandy langsung melepaskan bibir Verena dan melihat si pemilik suara, Ghaniya, yang sudah berdiri di dalam kamarnya dengan wajah geram.

Verena dan Zandy, keduanya sama-sama syok. Baru saja semalam mereka membicarakan soal pemberitahuan hubungan mereka, pagi ini Ghaniya sudah melihatnya langsung, bahkan saat mereka sedang berciuman!

Verena yang biasanya pintar berbicara nggak bisa berkata apa-apa. Sedangkan Zandy yang pinter ngeles, dan nyolot sama terpakunya dengan sang cewek.

What the hell are you two thinking!?”

Karena mendengar suara Ghaniya, Dya yang baru aja mau minjemin bajunya ke Verena, jadi sama terpakunya dengan sepasang kekasih itu ketika mendapati kakaknya sudah berdiri di hadapan mereka.

Explaination!”

Zandy merangkul tubuh Verena, merasa sudah cukup memberi penjelasan.

“Kalian berdua, ditunggu di ruang tamu.” Setelah mengatakan itu Ghaniya berbalik dan turun.

“Kok, bisa?”Dya langsung bertanya.

“Gue juga nggak tau. Tiba-tiba aja dia masuk.” Zandy memejamkan matanya sekilas. “When I kissed her.”

Dya menganga. “You’re in a big trouble, Brother. Gue nggak bisa berbuat apa-apa untuk kalian kalau udah kayak gini. Cuman bisa kasih nasehat aja. Perjuangin.” Dya meletakkan pakaian untuk Verena di atas meja lalu pergi.

Verena mengambil pakaian Dya dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti piamanya. Setelah keluar Zandy juga sudah mengganti pakaiannya.

“Ini kaos kesayangan gue. In case kalau gue diusir dari rumah,”kata Zandy.

Verena memeluk Zandy dan mulai kembali menangis. “Ndy, kita gimana?”

It’s okay. Setidaknya mereka udah tau tanpa harus susah-susah kita kasih tau. Cepat atau lambat hal ini juga bakalan kejadian kan, Ren? Sekaran kita hadapin sama-sama.” Direngkuhnya wajah Verena dengan kedua tangannya, menghapus berlahan air mata dari wajah gadis itu. “And promise me, apa pun yang akan terjadi kita nggak akan nyerah, kita tetep sama-sama.”

Verena mengangguk.

Ghaniya ternyata segera melaporkan kejadian tadi pada orangtuanya. Kedua orangtuanya yang baru saja mau berangkat ke Aussie, langsung mutar balik lagi pulang ke rumah dan siap menyidang Zandy dan Verena.

Zandy duduk di sebelah Verena, sambil merangkul tubuh cewek itu yang gemetaran. Dya duduk di sisi kanan Verena, ikut berusaha menenangkan. Sedangkan pihak penuntut duduk di hadapan mereka, Ghaniya, dan kedua orangtua Zandy.

Zandy memberi tatapan menusuk pada Ghaniya. Dia bersumpah nggak akan memaafkan kakaknya itu apabila terjadi sesuatu dengan hubungannya, apalagi dengan diri Verena sendiri. Cara Ghaniya menyelesaikan masalah benar-benar berbeda dari Dya. Kalau emang dia mau lapor segala ke Ayah dan Ibu kenapa nggak nanya dulu kek udah siap atau nggak.

“Kami sudah dengar dari Ghaniya,” Dhimas Prasetyo memulai. “Dan jujur, kami sangat amat kecewa. Kalian pasti tahu, kan, apa yang kalian lakukan selama ini itu salah? Kenapa kalian tetap melakukannya?”

“Beri kami alasan,” Denada Handoko berbicara dengan tenang, penuh keibuan, sekaligus kekecewaan.

“Kami tahu ini kesalahan kami.” Zandy mempererat rangkulannya pada Verena. “Kami sendiri nggak pernah menghendaki yang demikian. Dari diri kami masing-masing nggak ada yang bisa berbuat apa-apa.”

“Rezandy Putra! Kamu laki-laki! Tentu kamu bisa berbuat sesuatu! Tidakkah kamu sadar sudah membawa Verena ke dalam masalah?”

“Saya tidak pernah berniat membawa Verena ke dalam masalah, Ayah. Kami hanya memperjuangkan apa yang kami rasakan.”

“Kamu sudah gila, Rezandy! Dia sepupumu sendiri! Ayah yakin kamu tidak sebodoh yang orang-orang kira! Ini kesalahan! Suatu kesalahan yang kalau dibiarkan semakin lama akan semakin besar!”

Tubuh Verena semakin gemetaran mendengar volume suara Oom Dhimas yang semakin lama semakin besar. Padahal semalam dia baru saja mendapatkan kehangatan di tengah-tengah keluarga Prasetyo.

“Rezandy, apa kamu tidak memikirkan ini dulu sebelum, sebelumnya memutuskan?” Dena Handoko berbicara masih dalam suara keibuannya.

“Saya sudah memikirkan ini, ibu. Saya juga tidak pernah memaksa Verena. Ini keputusan kami bersama.”

“Ini sudah keterlaluan!” Dhimas Prasetyo bangkit dari tempatnya. “Ayah akan segera membawa kalian ke hadapan keluarga besar! Dan kamu Verena, Oom yakin kamu sudah bisa membayangkan bagaimana kecewanya orangtuamu!”

Verena, Dya, dan ibunya satu mobil, sedangkan Zandy, Ghaniya, dan ayahnya di mobil lain. Mereka sedang menuju kediaman Nenek Runi. Kedua orangtua Verena tidak kalah syoknya begitu ditelepon Dhimas Prasetyo, mengabarkan soal anaknya yang sudah melakukan hubungan terlarang dengan Zandy.

“Maafin saya, Tante. Saya nggak pernah ada maksud buat masalah ataupun buat malu keluarga. Saya―”

Tante Dena membelai keponakannya dengan lembut. “Tante tau, Verena. Jujur, tante kecewa, tapi tante yakin kalian pasti punya fondasi yang sangat kuat sampai berani mengambil resiko ini.”

Verena sedikit tenang, setidaknya ada orang yang tidak sepenuhnya menyalahkan dirinya dan Zandy.

“Pasti saya dan Zandy akan dipisahkan, kan, tante?”

Tante Dena tersenyum menenangkan. “Tante tidak tau, Verena. Tapi satu pesan tante. Jangan anggap seluruh beban ada padamu. Ingat kamu masih punya teman-teman, sepupu-sepupu, dan keluargamu yang lain, yang siap buat bantu kamu, Verena.”

Verena berharap dalam hati, kalau Mamanya akan mengambil sikap yang sama seperti Tante Dena.

Ternyata persidangan di rumah Zandy barusan tidak cukup juga. Sampai mereka harus dibawa ke hadapan jaksa tertinggi, yaitu Nenek Runi. Tidak hanya itu, tapi juga di bawa di depan seluruh keluarga besar Handoko. Kelima anak-anak Nenek Runi, sampai kesepuluh cucu-cucunya, semuanya hadir.

Mereka memandang ke arah Zandy dan Verena dengan pandangan yang sama syoknya. Siapa sangka dua orang yang selama ini cendrung bertolak belakang tiba-tiba saja jadi tersorot kasus begini, hingga menghebohkan satu keluarga besar. Apalagi Verena seumur hidup nggak pernah kena omel sama Nenek Runi. Kalau Zandy sih, udah biasa. Tapi kali ini nggak biasa karena korbannya adalah Verena.

Nenek Runi tidak terlihat syok. Beliau terlihat tetap senang seperti biasanya. Andyta Handoko, beberapa kali menyeka mata agar air matanya tidak menitik. Hariadi Kusuma terlihat sama marahnya dengan Dhimas Prasetyo.

“Jadi selama ini, Ledya tahu, mengenai hubungan kalian?” Nenek Runi memulai.

Dya jadi ikut terbawa juga. Mau nggak mau dia mengaku. Kalau sudah di hadapan Nenek Runi, pilihannya hanya 2: jujur atau mati.

“Kenapa kamu melindungi mereka? Bahkan kenapa kamu menyerahkan Verena pada Zandy semalam? Apa yang ada di dalam pikiran kamu, Ledya?”

Dya hanya diam. Dirasakan tatapan beberapa sepupu-sepupunya teralih padanya.

“Saya butuh jawabanmu, Ledya. Apa kamu meledek saya karena tidak bisa membaca pikiranmu?”

“Maaf, Nek. Saya tahu, saya salah. Tapi saya pikir, saya tidak perlu ikut campur dalam masalah Verena dan Zandy.” Ledya tersenyum tulus ke arah adik dan sepupunya itu. “Saya yakin mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri.”

“Tidak ikut campur, bukan berarti kamu menyerahkan Verena pada Zandy begitu saja, Ledya.”

“Nek, tolong jangan salahkan―” Zandy baru saja mau membela kakaknya, tapi Nenek Runi sudah menghentikannya.

“Saya butuh waktu untuk memikirkan ini. Ini kejadian pertama di keluar Handoko, dan saya harap dan untuk yang terakhir kalinya.” Nenek Runi menyapu pandangan ke arah cucu-cucunya yang lain. “Saya tidak mau hal ini terulang pada kalian.”

Sejak hari itu, Zandy dan Verena belum pernah bertemu satu sama lain lagi. Orangtua mereka melarang mereka untuk bersekolah sementara waktu ini sampai Nenek Runi membuat keputusannya. Kalau berdasakarn dari orangtua masing-masing, tentu saja keputusannya sudah dibuat, yaitu: perpisahan. Tapi Nenek Runi mengatakan kalau beliau akan segera memutuskan.

Zandy dan Verena hanya sekedar berhubungan lewat telepon, SMS, atau webcam. Verena nggak bisa berhenti mikirin permasalahnnya dengan Zandy, bahkan matanya sepanjang hari bengkak karena menangis. Zandy yang melihat keadaan Verena jadi semakin perihatin, tapi dia tidak bisa berbuat banyak.

Sedangkan Dya masih membantu Zandy dan Verena. Meminjamkan HPnya diam-diam selama telepon di kamar Zandy di cabut dan HPnya di sita.

Kalau soal Ghaniya, Zandy masih marah besar pada kakaknya yang satu itu. Zandy nggak pernah lagi meladeni perkataan Ghaniya sejak dirinya dan Verena kepergok. Zandy juga nggak merasa dirugikan dengan nggak ngomong ke kakaknya itu.

Malam ini pun Verena menelepon Zandy. Cewek itu masih terisak, suaranya serak. Rasanya ingin sekali Zandy menemuinya. Pernah dia mencoba kabur, tapi gagal total. Karena apalagi kalau bukan karena Ghaniya? Semakin benci Zandy padanya.

Sampai akhirnya seminggu setelah kejadian itu, sekarang Nenek Runi memanggil Verena dan Zandy untuk datang ke rumahnya.

Rumah Nenek Runi tidak seramai seminggu yang lalu. Hanya ada beberapa cucu Handoko yang hadir, juga orangtua Zandy dan Verena.

Begitu Zandy dan Verena bertemu untuk pertama kalinya lagi, Zandy langsung merengkuh gadis itu dalam pelukannya seerat yang ia bisa. Tidak ada yang bisa dilakukan para keluarga yang lain selain menatap mereka dengan tatapan tidak berdaya.

“Kamu nggak pa-pa, kan?”tanya Zandy sambil memperhatikan wajah Verena yang terlihat pucat.

Verena menggeleng.

Mereka bedua berjalan menuju ruang kerja Nenek Runi. Nenek Runi ingin berbicara 6 mata dengan mereka saja. Tanpa gangguan orang lain.

Jarang yang pernah masuk ke dalam ruang kerja nenek Runi, selain pelayan kepercayaannya, Irna, yang sudah bekerja 20 tahun dengannya. Anak-anaknya pun enggan untuk masuk ke sini, apalagi para cucu-cucunya. Verena dan Zandy adalah yang pertama untuk masuk ke sini.

Ruangannya sangat besar. Rak-rak yang terbuat dari kayu berwarna gelap, menjulang tinggi hingga langit-langit, dipenuhi buku-buku koleksi Kakek Irfan dan Nenek Runi. Buku-buku dan file-file penting di simpan di lemari di dekat meja kerja yang berkaca dan selalu terkunci. Sebuah meja kayu yang besar dan terlihat sangat kokoh berada di ujung ruangan, dengan Nenek Runi duduk di belakangnya, membelakangi jendela.

Verena dan Zandy duduk di kursi di hadapan Nenek Runi. Seperti biasanya ekspresi Nenek Runi sulit untuk ditebak. Selalu terlihat tenang, tapi tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikirannya atau pun suasana hatinya.

“Saya sudah memutuskan,” Nenek Runi memulai.

“Tolong Nenek pikirkan lagi.” Zandy ngotot mempertahankan hubungannya. “Saya benar-benar serius dengan Verena.”

“Rezandy, saya belum selesai berbicara.”

Zandy terdiam. Di tatapnya Verena yang duduk di sebelah kanannya, hanya bisa setengah menunduk tidak berani menatap Nenek Runi. Zandy memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Salah satu dari mereka bisa dipindahkan sekolahnya. Tapi yang terpenting yang ada di pikiran Zandy, apa yang akan terjadi pada Verena jika dirinya tidak ada? Apa semuanya akan kembali normal lagi?

Zandy jadi semakin merasa bersalah. Dia tau seharusnya bisa menahan perasaannya. Seharusnya dia tidak memancing Verena, tidak memupuki hubungan ini sejak awal.

“Omongan harus dibuktikan, Rezandy. Bukti apa yang bisa meyakinkan saya kalau kamu serius dengan Verena?”

Zandy semakin bingung. Dia sadar dirinya nggak bisa melakukan apa-apa. “Suatu hari nanti, saya berjanji akan menikahi Verena, Nek.”

Verena terhenyak dan menatap cowok di sampingnya itu. Bahkan pikirannya belum sampai sejauh itu. Menikah.

“Saya tidak minta kamu menikahi Verena, Rezandy. Saya ingin kamu membuktikan. Apa yang membuat saya bisa menerimamu sebagai calon suami dan pada akhirnya suami sah bagi Verena? Kalian cucu saya, tentu saya menyayangi kalian. Tapi bukan berarti sebagai laki-laki kamu lepas tanggung jawab.”

“Saya akan bertanggung jawab atas semua perbuatan saya, Nek. Maka dari itu saya ingin menikahi Verena.”

Mau nggak mau Verena sedikit tersentuh juga di lamar secara tidak langsung begini, di depan Nenek Runi pula!

“Kalau begitu, buat saya menyetujui hubungan kalian. Buat saya menerima kamu, Rezandy, sebagai calon suami Verena. Jangan karena kamu adalah cucu saya dan saya sudah tahu duduk permasalahannya, bukan berarti kamu tidak perlu meminta ijin pada saya.”

Zandy bukanlah ahli dalam mengambil hati orang, berbasi-basi serta berbicara resmi dan sopan. Dalam bayangannya, saat dia melamar calon istrinya nanti, tinggal Ayahnya yang berbicara. Tapi siapa sangka taunya dia harus berbicara sendiri, pada Nenek Runi pula.

“Saya berjanji akan jadi suami yang baik bagi Verena. Saya akan jadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dan menyayangi Verena seumur hidup saya.”

Verena mengerjap-ngerjapkan amtanya, bingung kenapa cowoknya bisa jadi berkata-kata seperti itu.

“Dan di mulai dari?”

“Saya akan mulai dari sekarang. Saya akan tunjukkan ke Nenek, ke orangtua, ke keluarga kita, kalau saya pantas bersama Verena, tidak peduli dengan status kami sebagai sepupu sedarah. Saya akan jadi orang sukses dan bergabung dengan Handoko Group. Nenek bisa pegang omongan saya.”

Bahkan dia membawa-bawa nama Handoko Group! Verena jadi takjub mendengarnya. Berjanji di depan Nenek Runi tentu saja bukan hal yang main-main. Apalagi sudah berjanji untuk masuk ke Handoko Group.

Nenek Runi tersenyum hangat. “Saya pegang omongan kamu, Rezandy. Kamu tentu tahu, apa resikonya jika kamu tidak bisa memenuhi target yang kamu sebutkan tadi. Sara rasa semuanya sudah cukup jelas sekarang. Tidak ada yang melarang hubungan kalian. Tapi tetap jaga sikap di depan public. Saya tidak mau ada berita macam-macam lagi yang beredar.” Nenek Runi memutar kursinya, menghadap ke luar jendela. “Kalian bisa keluar.”

Verena dan Zandy hampir nggak percaya akan apa yang mereka dengar. Secepat ini? Padahal mereka kira, mereka bakal tertahan di sini selama berjam-jam, memohon-mohon sambil nangis darah. Ternyata mereka tidak mengenal nenek mereka sendiri dengan baik.

Verena tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya, begitu juga Zandy. Mereka pun keluar dari ruangan Nenek Runi, dengan kehidupan yang baru.

Tentu aja kabar Zandy punya hubungan khusus dengan Verena langsung tersebar luas ke masyarakat. Nggak tau deh, pada tau dari mana orang-orang itu.

Pada saat Zandy dan Verena kembali masuk sekolah lagi, banyak orang yang memandang mereka dengan tatapan aneh, jijik, sekaligus melongo. Tapi setelah beberapa minggu, mereka jadi terbiasa.

Zandy pun mulai mengubah kebiasaannya, mengingat janjinya dengan Nenek Runi. Setelah kejadian lamar-lamaran itu, Zandy nggak pernah lagi membahas soal pernikahan dengan Verena. Jadi Verena pun nggak ambil pusing soal itu. Malu dong, kalau cewek mulai ngomongin soal itu duluan, apalagi dalam hal ini cowoknya adalah Zandy yang susah buat diajak serius.

Para sepupu-sepupu mereka juga tidak mengucilkan mereka. Bahkan mereka sering jadi center of attention dan jadi bahan lucu-lucuan. Apalagi karena Zandy yang sok jual mahal sama Verena selama ini, taunya kecantol juga. Tentu aja yang paling semangat ketawain dia adalah Dipta dan Davin (yang dipengaruhin Dipta).

“Ini jadi ditambahin, hasilnya di tambahin yang pertama ini, baru di kali?”tanya Zandy.

Hari ini mereka sedang belajar bersama. Kalau aja hubungan mereka belum ketauan sama keluarga, mereka bisa aja belajar di rumah Verena atau Zandy dengan santai. Tapi keduanya enggan buat bertamu ke rumah masing-masing. Orangtua mereka belum sepenuhnya bisa menerima keadaan ini. Alhasil mereka jadi belajar di perpustakaan, sepulang sekolah.

Verena mulai frustasi. Nggak nyangka ternyata pacarnya ini lemot banget! Sudah diulang 2 kali dalam variasi soal yang berbeda dan dipilih yang paling mudah, tetap aja nggak nyambung-nyambung.

“Ndy, aku harus gimana sih, biar kamu ngerti? Dari tadi kamu dengerin aku nggak, sih?”

“He-eh. Dengerlah. Maaf ya, aku nggak ngerti-ngerti dari tadi.” Dikecupnya pipi Verena sekilas.

Verena paling nggak bisa kalau udah dirayu Zandy kayak gini. Rasanya semua emosi yang sudah siap keluar lenyap seketika.

Verena mengambil pensil dari tangan Zandy dan mulai mejelaskan lagi. “Ini kalau di tambahin dulu, jadi hasilnya beda, Ndy. Jadi harus kamu tambahin dulu yang di dalam kurung ini, di kali sama yang ini, baru nanti hasilnya ditambah ama yang pertama.”

“Ooooh. Emangnya hasilnya bisa beda, ya? Kan sama aja ditambah di kali juga.

“Tapi ini yang ada di dalam kurung, berarti dikerjain duluan. Emang dari sananya begitu, Ndy. Coba aja kerjain pakai cara kamu dan cara aku. Pasti beda.”

Zandy memilih untuk tidak membantah Verena lagi, karena dia sadar dirinya emang nggak tahu apa-apa, apalagi soal Matematika.

Akhirnya dalam waktu satu jam kemudian, Zandy bisa mengerjakan latihannya hari ini dengan lancar.

“Nah, kalau begini terus kan aku seneng, kamunya jadi pinter,”kata Verena sambil membereskan alat-alat tulis mereka.

“Kalau aku nggak kayak gini dan aku nggak pinter, bisa-bisa aku nggak boleh nikah sama kamu, Ren.”

Verena jadi blushing mendengarnya. Ini pertama kalinya Zandy membahas ini lagi. Verena kira selama ini itu hanya bualan semata biar bisa bebas dari Nenek Runi. Tapi tidak disangka kalau Zandy serius.

Verena masih pura-pura sibuk membereskan alat-alat tulis mereka, dan tangan Zandy menangkap tangan cewek itu. Disematkannya sebuah cincin ke jari manisnya, yang membuat Verena nggak bisa berkata apa-apa.

“Cincin ini aku pesan dari Seanna. Kalau kamu mau tau, cincin ini cuman ada satu di dunia, karena originally rancangan Seanna. Terlihat sangat indah dijarimu.”

Mata Verena berbinar menatap cincin dengan ring yang berbentuk seperti akar berambat berwarna perak, yang mengikat sebuah batu berlian. “Ndy, ini terlalu― I can’t.”

Zandy mencium bibir Verena untuk mendiamkan gadis itu. Dibelainya lembuat pipi Verena. “Nggak ada kata ‘terlalu’ untuk kamu. Bagiku, semua di dunia ini, masih kurang untukmu. Karena yang aku berikan, cuman seonggoh batu kerikil, dan kamu adalah berliannya.”

Mata Verena sampai berkaca-kaca mendengarnya. Nggak disangka Zandy bisa jadi sepuitis ini! Dan yang terpenting dari sorot dan ekspresinya menandakan keseriusan!

Dipeluknya cowok itu dengan erat. “Thanks, Ndy. You’re the best!”

“Tapi cincin itu cuman buat simbolis aja ya, Ren. Kamu jangan merasa terikat atau apa. Kamu masih tetap bebas kok, milih yang lain.”

Verena mencium pipi Zandy, lama dan dalam. “I’m yours, Prince!”

Never Give Up In Love part 4

Malam ini seperti biasa, keluarga Handoko berkumpul di rumah Nenek Runi. Zandy idak lagi terpikirkan soal Danar yang bakalan membawa Dian malam ini. Tidak juga soal hukumannya. Bahkan dia berharpa hukumannya terus diperpanjang, agar dirinya bisa menjemput Verena setiap pagi tnapa menimbulkan kecurigaan.

Zandy melirik ke arah Verena yang duduk di sofa di seberangnya, yang juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Senyuman Verena sekarang benar-benar terasa sangat amat berharga bagi Zandy.

Tapi Zandy harus membuang muka. Apa kata yang lain kalau dirinya didapati memandangi Verena sepanjang malam? Bahkan sampai senyam-senyuman segala?

Seluruh keluarga Handoko sudah berkumpul. Kecuali kedua orangtua Zandy, juga Danar dan Dian. Seperti biasa acara keluarga mereka, selalu formal. Kebanyakan dari mereka hanya diam. Menikmati teh masing-masing. Berbicara dengan suara pelan, dan tidak ada satu pun yang tertawa. Kalau orang lain melihat keluarga Handoko, pastinya mereka akan mengira keluarga itu tidak bahagia. Tapi Zandy dan Verena sudah terbiasa dengan suasana itu. Walaupun bagi mereka yang anak SMA, itu sangat membosankan. Mereka ingin bisa bersantai bersama keluarga, tanpa keformalan apa pun. Bukannya mengganggap keluarga sebagai rekan bisnis.

Zandy bangkit berdiri dan memberikan tanda pada Verena agar mengikutinya.

Verena mengikuti Zandy. Hanya dirinya dan Zandy yang tidak mengobrol denga siapa pun. Nenek Runi asik berbincang dengan anak-anak dan menantu-menantunya. Apalagi kalau bukan soal bisnis? Davin dan Dipta juga sudah ngeloyor pergi entah ke mana di bagian rumah Nenek Runi yang super besar itu.

Setelah keluar dari ruang tamu, Zandy dan Verena langsung menghela nafas lega. Mereka tidak lagi bersikap formal, melainkan menjadi sepasang kekasih remaja pada umumnya.

Zandy membawa Verena ke taman belakang. Tempat yang paling disukainya di rumah Nenek Runi ini. Tidak ada lagi tempat yang senyaman di taman itu di rumah ini.

Zandy dan Verena duduk di salah satu kursi di taman yang luas itu. Terdiam sebentar. Berusaha meyakinkan diri masing-masing kalau mereka bukan lagi sekedar saudara sepupu.

“Terkadang gue ngerasa aneh dengan keluarga gue sendiri,”kata Zandy memecah kesunyian.

Verena menatap Zandy, mendapati cowok itu hanya menatap ke langit dengan wajah sedikit sedih. “Bukannya memang dari kita lahir, keluarga kita begini?”

Zandy tersenyum sinis. “Mana ada sih, yang tahan hidup di keluarga Handoko, atau pun Prasetyo? Bahkan Prasetyo pun, lebih buruk daripada ini. Nggak ada yang namanya kumpul-kumpul keluarga setiap bulan. Gue sih, agak bersyukur dengan adanya acara kayak gini setiap bulannya. Walaupun gue yakin, tujuannya cuman buat kelangsungan bisnis aja.”

“Gimana ya, kalau Nenek Runi tau persoalan kita?”tanya Verena tiba-tiba.

Zandy menatap Verena bingung. Ternyata Verena masih mempermasalahkan soal itu juga. “Cepat atau lambat pasti, Nenek Runi tau.” Zandy menggenggam tangan Verena. “Dan apa itu jadi masalah buat kamu?”

Verena agak kaget mendengar Zandy mengatakan kata ‘kamu’ padanya. Rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi. Membayangkan Nenek Runi dan keluarga Handoko lainnya tau apa yang terjadi di antara Zandy dan dirinya. Diusirkah mereka? Dicoret dari surat wasiat keluarga Handoko? Atau yang lebih buruk lagi, dipisahkan secara paksa?

“Kita nggak usah nutup-nutupin persoalan ini ke Nenek Runi atau siapa pun,”kata Zandy. “Tapi kita juga nggak usah bilang ke mereka tentang hubungan kita.”

“Mereka pasti marah.”

“Mereka nggak berhak marah. Mereka cuman berhak kaget. Aku pikir kita nggak melakukan suatu kesalahan, sampai harus buat mereka marah.” Zandy menatap Verena lebih dalam lagi. “Apa kamu kira, keadaan kita sekarang ini adalah suatu kesalahan?”

Verena semakin gelisah. Dirinya sudah melangkah semakin jauh dengan Zandy. Bahkan dirinya juga tidka bisa menyalahkan Zandy, atau siapa pun atas apa yang terjadi pada mereka saat ini. Verena juga tidak merasa, kalau hubungan mereka adalah suatu kesalahan. Verena bahagia saat bersama Zandy. Tidak ada rasa bahwa itu suatu kesalahan.

Zandy dan Verena kembali ke ruang tamu. Danar dan Dian sudah ada di sana. Nenek Runi kelihatan antusias mengintrogasi Dian. Tapi Dian dengan enteng dan mudah menjawab semua pertanyaan Nenek Runi. Nenek Runi terlihat bahagia. Apalagi Danar, cucu kesayangannya, mendapatkan seorang calon istri yang sempurna di matanya.

Zandy dan Verena langsung tidak enak hati melihatnya. Mereka membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka nantinya. Ketika Zandy memperkenalkan Verena sebagai calon istrinya. Apakah Nenek Runi masih akan terlihat sesenang itu? Atau sebaliknya?

Verena dan Zandy mengambil tempat di sofa di sudut ruangan. Menjauh dari orang-orang yang bahagia itu.

Dipta dan Davin yang tidak tau apa-apa bingung melihat gebetan sepupunya, adalah tunangan Danar. Mereka menatap Zandy, yang santai-santai saja. Sama sekali tidak terlihat cemburu atau pun marah. Bahkan duduk berdekatan dengan Verena, membuat privacy untuk mereka sendiri di sudut ruangan, tanpa memperdulikan cewek yang disukainya sedang diperkanalkan sebagai calon istri laki-laki lain.

Davin menepuk bahu Dipta sambil berbisik, “liat, tuh! Kelakuan playboy! Tobat lo! Sebelum jadi gila kayak dia!”

Dipta meringis mendengar kata-kata Davin, sambil membayangkan, kalau cewek yang disukainya, ternyata tunangan Danar.

Zandy bangun lebih pagi hari ini. Dia berniat menjemput Verena. Walaupun semalam Nenek Runi sudah menyatakan kalau, kepercayaannya pada Zandy meningkat satu tingkat, dan terbebas dari antar jemput Verena.

Zandy menunggu di depan rumah Verena. Tanpa keluar dari mobilnya. Sampai akhirnya Verena keluar dengan wajah riang. Wajah ceria Verena yang sudah lama sekali tidak dilihat Zandy.

Good morning, Princess,”sapa Zandy begitu Verena masuk ke mobilnya.

“Pagi banget, datengnya.”kata Verena sambil mengenakan sabuk pengamannya.

“Oh, keberatan? Besok aku bisa kok, dateng sesiang mungkin.”

Just kidding. Nanti kita telat, dapet hukuman lagi dari Nenek Runi.”

Sounds good. Malah bagus kan?”

Verena memutar matanya. Satu hal yang dia sadari dari diri Zandy sekarang ini: cowok itu benar-benar gombal.

Zandy melaju kencang mobilnya sambil bersiul riang. Verena meringis melihatnya. Bisa-bisanya cowok itu ngebut dengan tampang meremehkan begitu.

“Pelan, pelan.”ujar Verena, yang lebih terdengar ditujukan pada dirinya sendiri.

Scared, huh?”tanya Zandy.

No.”

Zandy menambah kecepatan mobilnya. Verena semakin merosot di kursinya. Dirinya memang sering ngebut, dan dia suka itu. Tapi tidak segila Zandy. Dia tidakmenyangka nyawanya bakalan tergantung sama cowok di sampingnya, yang berwajah tidak meyakinkan itu.

“Oke! Find! I’m scared. Pelanin,”aku Verena.

Zandy terkekeh geli mendengar pengakuan Verena. Berlahan Zandy mengurangi kecepatan. “Susah banget sih, buat ngomong jujur.”

Verena mencibir.

Mobil Zandy memasuki kawasan sekolah. Diparkirnya mobil di bawah pohon yang teduh. Jarang-jarang dia mendapat posisi parkir mobil sebagus ini, karena selalu datang terlambat.

Zandy hendak turun dari mobil, tapi Verena menahannya.

“Kenapa?”tanya Zandy.

“Kita harus gimana kalau di sekolah?”tanya Verena.

“Lakuin aja apa yang pengen lo lakuin,”jawab Zandy.

“Kalau orang lain tau gimana?”

Zandy menggidikkan bahu. “Who cares?”

Verena nggak menyangka Zandy bakalan nggak sepeduli itu. Di sekolah ini banyak murid yang merupakan anak-anak relasi bisnis Handoko Group. Verena benar-benar bertambah khawatir. Kembali terbayang di pikirannya untuk tidak bersama Zandy di sekolah. Tapi sepertinya cowok itu keberatan.

Verena berjalan di samping Zandy, agak ke belakang sedikit, berusaha menjaga jarak. Tapi Zandy menarik tangan Verena. Menggandeng tangan cewek itu dan mengantarnya sampai ke depan kelas. Tidak jarang juga banyak orang berbisik-bisik, menatap bingung, ketika mereka lewat. Semua tau, kalau Verena dan Zandy, berasal dari keluarga yang sama.

Zandy memegang wajah Verena dengan kedua tangannya. “Nggak ada yang perlu ditakutin, oke?” Ditepuk-tepuknya pelan kepala Verena, tersenyum, lalu berbalik meninggalkan cewek itu.

Verena memasuki kelas, dengan menerima pandangan dari teman-teman sekelasnya. Termasuk Keisha. Yang masih syok melihat kejadian di depan pintu kelasnya tadi.

“Gi-gimana bisa?”kata Keisha tergagap-gagap sambil menunjuk Verena.

Verena menghela nafas. “Lo udah liat sendiri kan? Jadi gue nggak usah ngejelasin.”

“Justru itu! Gue mau lo ngejelasin! Kenapa lo bisa sama Zandy?!”

“Bisa pelan dikit nggak sih, ngomongnya?”

Keisha memelankan suaranya. “Hukuman lo ama dia udah berakhir kan?”

Verena mengangguk.

“Kenapa lo masih sama dia?”

“Maksud lo?”

Keisha memutar matanya. “Please, Ren. Semua orang juga liat kali tadi. Mesra, BANGET,”kata Keisha sambil menekankan kata ‘banget’.

Verena menganggap Keisha terlalu berlebihan. Zandy hanya menyentuhnya saja tadi, tidak lebih. Tidak ada pelukan, ciuman, atau apa pun. Yang bagi dirinya masih bisa dikatakan sebagai hubungan saudara sepupu biasa.

“Itu biasa kali, Sha.”kata Verena.

What? Biasa gimana? Lo nggak pernah selama ini gitu sama Zandy. Bahkan selama lo dihukum sama dia, dia nggak pernah nganter lo ke kelas, apalagi pegang-pegang lo sampe segitunya.”

Verena kurang setuju dengan kata-kata Keisha, yang menyebutnya sebagai hukuman untuk dirinya. Tapi dia tidak memusingkan soal itu lagi.

“Kalau emang dia nganterin gue ke kelas emangnya kenapa? Gue juga bisa kok ngelakuin hal yang sama.”

“Tapi ini beda, Ren. Senyumnya…matanya… Beda!”

Verena bergumam sendiri dalam hati, tau apa dia soal Zandy?

So? Penjelasan yang lo pengen denger itu kayak gimana? Lo kan udah liat sendiri.”

Keisha memandang ke sekeliling. Memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. Lalu mencondongkan tubuhnya ke Verena dan berbisik, “lo jadian ama dia?”

“Kan gue udah bilang. Lo udah liat sendiri, kan?”

Keisha menutup mulutnya sendiri kaget. “Gila lo, ya? Sepupu lo sendiri,”katanya masih sambil berbisik.

“Gue tau.”

“Lo dalam masalah besar, Verena.”

“Udahlah, Sha. Gue nggak mau mikirin itu sekarang. Gue dan Zandy, bener-bener serius. Nggak main-main. Terserah apa kata orang. I-don’t-care.”

Tidak lama kemudian Keisha tertawa. “Padahal dulu lo benci banget ama dia. Bahkan lo ngeledekin gue gara-gara gue muji-muji dia. Sekarang terbukti kan?”

“Oke, oke. Gue akuin.”

Keisha menyikut lenganku. “Boleh dong, nanti gue nontonin kalian?”katanya sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Aku mengernyit menahan geli melihat tingkahnya.

Keisha berkali-kali mengoceh, bilang kalau tidak sabar ingin menonton kisah romantis Verena dan Zandy. Telinga Verena sampai panas mendengarnya. Tapi di sisi lain dirinya bersyukur juga. Karena setidaknya Keisha tidak marah, karena dirinya merebut gebetannya.

Sepanjang istirahat pertama dan kedua, Verena sebisa mungkin menghindar dari Zandy. Zandy hanya bersikap biasa saja. Berkumpul dengan teman-temannya. Hanya Adly saja yang memberikan pandangan pada Verena, sedangkan teman-temannya yang lain tidak memperdulikanya. Mungkin Zandy sudah menceritakan semuanya pada Adly.

“Ke mana rencana lo hari ini?”tanya Keisha sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

Verena menggidikkan bahu. “Nggak ada tuh.” Lalu dengan cueknya, dia menyandang tas dan keluar dari kelas. Tidak memperdulikan suara Keisha di belakangnya, yang minta untuk ditunggui.

Ketika Verena melangkahkan kaki keluar dari kelas, Zandy ternyata sudah menunggu di balik pintu. Zandy menarik Verena, cukup keras hingga menabrak badannya sendiri.

“Hei,”sapa Zandy sambil tersenyum.

Lutut Verena langsung lemas. Entah kenapa setiap kali disentuh, berbicara, melihat Zandy rasanya dirinya tidak berdaya. Padahal dulu dia begitu benci, begitu tidak suka terhadap cowok playboy itu. Tapi sekarang dirinya begitu ingin.

“Hai,”sapa Verena seadanya.

Keisha yang baru keluar dari kelas, menahan untuk berteriak ketika melihat Verena dan Zandy yang bermesaraan di depan pintu. Semangatnya untuk menonton, lenyap sudah. Keisha jadi merasa nggak enak hati begitu melihat Verena dan Zandy. Langsung saja dia pergi jauh-jauh, tanpa berkata apa pun.

“Mau ke mana hari ini?”tanya Zandy.

“Les, sama Dian. Kamu masih ikut les kan?”tanya Verena.

Zandy berpikir sejenak. “Ya, mungkin. Aku bakalan nyimak pelajarannya, tapi sebagian besar cuman buat nemenin kamu.”

Verena memutar bola matanya. “Mentang-mentang udah ditolak!”

Zandy terkekeh geli. “Aku nggak nyesel soal itu.”

Dian sama sekali tidak berubah. Tidak seperti yang dipikirkan Verena, terutama Zandy. Zandy pikir setelah Dian tau perasaannya yang sesungguhnya, akan membuatnya menjauh. Tapi tidak. Dian sama sekali tidak mempermasalahkan soal kejadian hari Sabtu lalu. Dia kembali mengajar Verena dan Zandy seperti biasanya. Bahkan mereka jadi semakin akrab. Apalagi ketika Verena tau kalau ternyata Dian-lah yang dimaksud Danar. Awalnya Verena sempat berpikir. Calon kakak iparnya pastilah orang yang serius. Tipe Danar. Pekerja keras, dingin, dan formal. Tapi hatinya begitu lega ketika tau orang itu adalah Dian. Yang benar-benar jauh dari bayangannya selama ini. Dan ternyata kakaknya menyimpan perasaan khusus pada Dian.

Zandy kurang menyimak apa saja yang dijelaskan Dian. Ia lebih sering menatap Verena. Zandy tidak berani bersentuhan dengan cewek itu saat Dian sedang menjelaskan. Apalagi melihat wajah Verena yang begitu serius menyimak segala sesuatu yang dikatakan Dian. Zandy berani taruhan, Verena yang gampang blushing, pasti langsung tidak fokus lagi begitu Zandy menyentuhnya, di depan Dian.

Dian masih belum tau, apa yang sebenarnya terjadi di antara Zandy dan Verena. Verena semakin bertambah khawatir. Dia tau betul bagaimana sifat Dian. Pasti kalau Dian tau, Danar juga akan tau. Kalau Danar tau, pasti seluruh keluarga akan tau. Verena sudah malas sendiri membayangkannya. Baginya orang-orang yang lebih dewasa dari dirinya selalu begitu. Menganggap dengan menceritakan masalah pada orang yang seharusnya mengetahui masalah tersebut, membicarakannya, maka semuanya akan selesai. Tanpa memikirkan, perasaan si masalah itu.

“Kamu hampir nggak bisa jawab semua soal, Ndy,”kata Dian sambil memperbaiki latihan Zandy. Tangannya sangat cekatan mencoret banyak nomer yang salah dan memberikan jawaban yang benar.

Zandy memutar matanya. Tentu saja, batinnya. Yang ia tau hanya Dian sedang membahas mengenai Fisika. Itu saja. Mengerjakan soal-soal yang diberikan Dian, ia pun hanya membacanya sekilas, menjawab apa adanya, tanpa dipikir panjang. Berbeda dengan dulu. Saat dia ingin menunjukan yang terbaik pada Dian. Bahwa dirinya pandai, pantas bersanding dengan Dian. Tapi sekarang Zandy merasa itu semua benar-benar tidak perlu. Yang ada di dalam kepalanya hanya Verena, Verena, dan Verena.

Dian meletakkan buku Zandy yang sudah penuh coretan di hadapan Zandy. Verena langsung melihatnya sebelum Zandy kembali mengambilnya. Verena geleng-geleng kepala melihatnya. “Ya, ampun. Kamu gimana, sih? Ini kan tinggal dibagi, terus dikaliin. Masa 23 kali 4 aja masih salah?”

Zandy kembali merebut bukunya dari tangan Verena. “Aku lagi nggak konsen.”

Verena memasang wajah nakal. “Wah, kayaknya aku nggak seneng tuh. Sama cowok tolol, yang ngakunya nggak konsen.”

Zandy merasa terpojok. Dirinya lupa kalau masih ada satu cewek lagi yang harus dia tarik perhatiannya. Bukan Dian lagi, melainkan Verena. Siapa sih, yang tahan dengan cowok tolol yang kerjanya cuman minum-minum, pesta pora, dan mainin cewek, macam dirinya ini?

Zandy sekilas melirik ke arah buku latihan Verena. Angka 100 besar. Dengan berat, Zandy menghela nafas. Dirinya jelas-jelas kalah dengan Verena.

Dian menatap Verena dan Zandy begrantian. Bertanya-tanya sejak kapan mereka bebricara menggunakan ‘aku-kamu’. Setau Dian, Verena dan Zandy selalu menggunakan kata ‘elo-gue’. Tapi Dian nggak mengambil pusing. Walaupun sempat terlintas di kepalanya, kalau Zandy dan Verena sudah menyadari perasaan mereka.

“Hari ini sampai di sini aja, ya. Aku masih harus nemuin Danar di kantor.”kata Dian sambil membereskan buku-bukunya.

Verena memutar mata. “Yeah. Pasti dinner. Emangnya apalagi yang bisa dilakuin kakak gue satu itu?”

Dian tidak tersinggung, hanya membalasnya dengan seulas senyum. “Tapi itu sudah lebih dari cukup buatku. Dia rela mengurangi waktu kerjanya, demi untuk memberikanku perhatian lebih.”

Zandy dan Verena mengantar Dian ke mobilnya.

“Aku juga pulang dulu ya, Ren,”kata Zandy sambil mengeluarkan kunci mobilnya. Dikecupnya pipi kiri Verena, sebentar, tapi dalam.

Dian yang melihat kejadian itu syok. Firasatnya benar. Zandy dan Verena sudah berhubungan sekarang. Dian tersenyum di dalam mobilnya. Menyaksikan pemandangan di depan matanya. Dibukanya kaca jendela mobilnya. “Tenang aja. Danar nggak akan tau. Dan siapa pun nggak akan tau. Aku yakin kalian bisa menyelesaikan semuanya sendiri.”

Zandy kaget. Ia baru ingat kalau Dian masih ada di sana. Dian hanya tesenyum lalu memundurkan mobilnya berlahan keluar dari rumah Verena.

“Tenang aja. Aku yakin, omongan Dian pasti bisa dipercaya. Like you said, she’s different,”kata Verena.

But not more than you,”balas Zandy.

Makan malam di rumah Zandy terasa kaku. Ayah dan Ibunya memang jarang berada di rumah. Sekalinya mereka pulang, pasti tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Rasanya seperti ada anggota baru lagi di keluarga mereka.

Hampir 18 tahun sudah Zandy merasakan hal itu. Tapi dia sudah kebal, sudah biasa. Kedua kakak-kakaknya selalu menemaninya, suka ataupun tidak suka. Walaupun Ghaniya, selalu over protective padanya maupun Dya, dan Dya yang jahil dan gothic tapi bisa diandalkan. Serta keluarga Prasetyo yang sepertinya sudah lupa mereka memiliki keluarga. Semua tertutup dengan perusahaan, embel-embel bisnis, kekayaan, keformalan, dan segala macamnya.

Zandy bukan yang tertua di antara para Handoko atau pun Prasetyo. Bukan juga yang termuda. Bukan yang paling di sayang, tapi yang paling dibuang. Bukan juga yang paling pintar, tapi yang paling tidak pintar.

Terkadang Zandy iri melihat teman-temannya. Banyak di antara teman-temannya yang merupakan anak tunggal. Kata orang-orang, anak tunggal berlimpah kasih sayang, dan anak yang manja. Tapi tidak begitu di mata Zandy. Anak tunggal memang selalu disayang, diperhatikan, tapi tidak selamanya jadi manja dan cengeng. Justru merasa bebas. Tidak juga kesepian, karena lebih memiliki waktu bergaul dengan banyak orang di luar sana daripada kakak atau adik mereka. Seperti Davin contohnya. Tante Manda, tidak bisa memiliki keturunan lagi setelah melahirkan Davin. Tidak banyak cucu laki-laki keluarga Handoko. Hanya Davin dan Dipta, yang mewarisi sebagian besar harta keluarga Handoko. Di mana Nenek Runi menaruh harapan besar.

Tapi tidak begitu pada Davin dan Dipta. Mereka sama sekali tidak menginginkan jabatan apa pun di Handoko Group. Bahkan mereka berusaha sejauh mungkin dari yang namanya bisnis. Mereka menikmati kehidupan mereka sendiri. Kebebasan mereka masing-masing. Terlepas dari keluarga yang menyesakkan.

“Ayah dengar,”kata Ayah Zandy memecah kesunyian di antara mereka. “Kamu sedang dekat dengan Verena, ya?”

Mendengar nama Verena disebut, Zandy langsung tegang. Langsung terpikirkan olehnya, kalau ayahnya tau keadaannya dan Verena. “Oh, y-ya, Ayah tau kan, soal hukuman Nenek Runi.”

“Bukannya itu sudah bulan lalu?”kali ini Ibu yang angkat bicara.

Well, ya. Tapi apa ada masalah? Lagipula Verena banyak membantuku dalam pelajaran sekolah.”

“Itu bagus. Asalkan kamu tidak kembali ke kebiasaanmu yang dulu.”kata ayah.

“Jumat ini ayah ulang tahun,”kata Ghaniya mengalihkan pembicaraan, “ada perayaan?”

“Tidak. Hanya kita saja. Di rumah. Tidak akan ada perayaan.”jawab ayah cepat.

Zandy langsung tahu penyebabnya. Pasti ayahnya tidak ingin perayaan ulang tahun mengganggu aktifitas kerjanya.

Tapi tiba-tiba Zandy kepikiran. Dirinya belum menyiapkan hadiah apa pun untuk ayahnya. Tahun lalu ia pulang dengan keadaan mabuk saat hari ulangtahun ayahnya. 2 tahun lalu ia nggak memberikan hadiah apa-apa. Sedangkan kedua kakak-kakaknya selalu memberikan hadiah di setiap ulangtahun kedua orangtua mereka.

Mungkin bisa tanya Verena, batin Zandy.

Keesokan paginya Zandy datang menjemput Verena. Gadis itu sudah terlihat jauh lebih ceria sekarang. Bahkan lebih ceria daripada hari-harinya bersama Haikal dulu.

Morning, Princess,”sapa Zandy begitu Verena memasuki mobilnya.

“Hei, Prince! Jangan ngebut ya, Pak.”jawab Verena sambil nyengir.

Zandy menggeleng-geleng tidak setuju. “Tadi Prince, sekarang Pak. Yang konsisten, dong. Lagian kamu pasti mengakui kalau ngebut itu enak.”

“Baiklah Prince Rezandy yang terhormat. Terserah anda. Pokoknya kalau sampe nyawaku melayang duluan....”

“Wew. I’m scared,”kata Zandy sambil menahan tawa dan melajukan mobilnya. “Ayah mau ulangtahun Jumat nanti,”kata Zandy. Verena menatap Zandy, menunggu kelanjutan kalimat cowok itu, “yaaaa….aku nggak tau…harus ngasih apa…”

“Hei, relax, boy. Kenapa tegang gitu, sih? Itu kan ayah kamu sendiri. Kamu bisa kasih apa pun yang dia suka kan?”

That’s the point, girl! Aku bingung, yang dia suka itu apa.”

Verena memutar bola matanya. “He’s your own father! Masa kamu nggak tau apa yang dia suka?”

“Tau sih…tapi kan dalam cangkupan yang banyak.”

“Nggak juga. Asal kamu memikirkan sesuatu yang spesial aja buat dia.”

Zandy berpikir sebentar. “Minyak wangi? Jam tangan?”

Verena mencibir. “Payah. Aku nggak kebayang gimana hadiah ulangtahunku nanti kalau kamu mikirin kado buat ayahmu sendiri aja sampai segitunya.”

“Memangnya salah ya, ngasih minyak wangi ama jam tangan?”

Verena menggeleng. “Kecuali kalau kamu sendiri yang buat minyak wangi dan jam tangan itu.”

“Oh…right, self-made.”

“Udah ngerti, kan?”

“Aku kan nggak bisa buat apa-apa. Palingan buat diri sendiri mabok aja.”

“Hei, jangan sebut kata itu. You’re not that bad, boy.”

“Oke, oke. Jadi apaan nih, kadonya?”

Verena berpikir sebentar. “Gimana kalau masakan aja?”

What!? Kamu nyindir aku ya? Aku disuruh masak?”

“Tentu aja nanti aku yang bantuin. Kamu tinggal bilang, Papa kamu suka masakan apa?”

Italian, maybe.”

“Oke. Nanti hari Jumat aku dateng buat ngebantuin kamu masak.”

Verena duduk di bangku di bawah pohon, tidak jauh dari tempat mobil Zandy diparkir. Dari sana ia juga bsia melihat jelas mobil Zandy, jadi bisa langsung tahu begitu cowok itu datang.

Zandy sedang rapat dengan tim basketnya dan Verena diminta untuk menunggu sebentar. Kalau bukan status Zandy yang udah jadi cowoknya itu, Verena nggak bakalan rela nunggu panas-panas di siang bolong.

Seseorang merangkul Verena dari belakang. “Lho, Ndy, kok rapatnya cepet banget?” Verena menoleh dan langsung bangkit ketika mendapati bukan Zandy yang ada di belakangnya, melainkan Haikal.

Haikal tersenyum sinis. “Apa kabar, Ren? Jadi kabar kalau lo dan sepupu lo pacaran, itu bener?”

Verena berusaha agar badannya tidak bergetar. Dia masih merasa bahwa Haikal yang ada di hadapannya ini benar-benar Haikal yang berbeda dengan Haikal yang pernah bersamanya. Menyeramkan. Terlihat sangat berbahaya.

Verena mengeraskan wajahnya. “Urusan lo apa?”

Haikal tertawa. Verena langsung meringis. Padahal setiap kali mendengar suara tawa Haikal dulu, hatinya sangat senang. Tapi tidak sekarang. Mendengar suara tawa Haikal, terasa sangat kejam di telinga Verena.

“Heh, elo dan pacar lo itu sama-sama Handoko. Udah, deh, jangan naïf. Gue yakin keluarga lo pasti nggak tau kan soal ini?” Haikal maju mendekati Verena. Disentuhnya wajah Verena pelan, yang langsung di tepis kasar oleh Verena. “Hei, sejak kapan lo jadi pemberontak gini? Sejak main sama si tukang minum itu, gue perhatiin lo jadi semakin liar.”

Verena menampar pipi kiri Haikal, sekuat tenaga, sampai cowok itu meringis. “Ngaca lo! Lo pikir lo siapa? Orang suci? Cih!”

Haikal mencengkram kedua lengan Verena kuat-kuat sampai Verena meringis. “Dia nggak pantes buat lo! Dan gue bersumpah, lo bakalan bayar kata-kata lo tadi!”

Verena berusaha melepaskan kedua tangan Haikal dari dirinya. “Lepasin!”

Satu tonjokan keras mendarat di wajah Haikal, yang membuat cowok itu terhuyung ke belakang dan kontan melepaskan kedua tangannya dari tubuh Verena.

Verena menoleh dan mendapati Zandy sudah berdiri di sebelahnya. Wajahnya penuh emosi. Belum pernah Verena melihat Zandy semarah ini.

“Lo berurusan dengan Handoko, Haikal yang terhormat!”teriak Zandy.

Haikal menegakkan kembali posisi tubuhnya sambil meringis sakit dan meraba bagian wajahnya yang terkena tonjokan dari Zandy. “Gue pengen tau, reaksi keluarga lo begitu tau, lo dan Verena ternyata ada affair!”

“Lo pikir gue takut?”tantang Zandy.

“Handoko bakalan ancur! Dan lo berdua,”Haikal menunjuk Verena dan Zandy bergantian, “masih berurusan dengan gue.” Lalu Haikal pergi meninggalkan Zandy dan Verena di lapangan parkir.

Tubuh Verena bergetar hebat. Haikal berubah drastis di penghilatannya sekarang. Tidak seperti dulu lagi. Jauh, jauh, jauh berubah.

Zandy menarik Verena ke dalam pelukannya. “Sorry,”katanya lirih di telinga Verena.

Verena membenamkan kepalanya di dada Zandy dan menangis. “It’s not your fault.”

“Gue tau harusnya gue nggak ninggalin lo sendirian di sini.”

Verena melepaskan pelukan Zandy dan menghapus air matanya. “Udahlah. Ayo pulang, panas nih.”

Mau nggak mau Zandy tersenyum juga melihat ceweknya yang lebih memilih memikirkan panasnya terik matahari dibandingkan panasnya emosi Haikal tadi.

“Nanti malem lo mau ikut nggak?”tanya Zandy ketika di perjalanan pulang.

Verena mendekatkan wajahnya yang sudah memerah karena kepanasan ke AC mobil Zandy. “Ke mana?”

“Hullabaloo.”

Verena menatap Zandy. “Kok gitu, sih! Lo kan tau kejadian terakhir waktu gue ke sana!”

“Eh jangan negative thinking dulu, dong. Emangnya temen lo doang yang ngadain acara ulang tahun di Hullabaloo?”

Verena menyenderkan punggungnya di kursi mobil. “Oh, jadi acara ulang tahun?”

“Iya. Salah satu pemain timku. Nggak enak kalau nggak dateng. Tapi kalau emang kamunya nggak mau juga nggak pa-pa.”

“Aku sih, mau-mau aja. Tapi perginya bareng kan?”

“Iyalah. Mulai hari ini aku nggak bakalan biarin kamu pergi sendiri lagi. Gue nggak mau ya, hal-hal yang kayak tadi kejadian lagi. Sayang tangan gue cuman buat nonjok mukanya si tengil satu itu.”

“Eh ngomong-ngomong, kita ngomongnya yang konsisten dong. Masa kadang aku kadang gue, kadang kamu kadang lo?”

Zandy mengerem mobilnya karena lampu merah. “Ya, bilang aku kamu kan biar mesra.” Zandy menaik turunkan kedua alisnya. “Tapi kebiasaan lo gue. Gimana dong?”

Verena melihat cowoknya dengan pandangan sedikit jijik. “Lebih prefer GUE ELO!”

“Oke! Itu sebenernya yang gue mau!” Zandy menggeleng-geleng kecil lalu bergumam sendiri pada dirinya, “gila baru kali ini gue pacaran pake gue elo”.

Hullabaloo selalu ramai pada hari Sabtu dan Minggu, sedangkan di hari biasa tidak begitu ramai kecuali jika ada event-event tertentu.

Tadinya Zandy sudah malas untuk datang ke pesta ulang tahun Fiona hari ini. Tapi Fiona memaksa dan memintanya untuk membawa sang kekasih. Ternyata Fiona mengira kalau Zandy berhubungan dengan Dian sejak pertemuan mereka di pameran buku tempo hari.

Sebenarnya Zandy juga belum siap-siap amat buat mengekspos hubungannya dengan sang sepupu, Verena. Tapi Zandy pikir, pada akhirnya semuanya juga bakalan tahu tentang dirinya dan Verena.

“Rame banget, Ndy,”gumam Verena sambil melepas sabuk pengamannya. Diperhatikannya Hullabaloo yang sekarang jadi lebih gemerlapan dari biasanya. Parkiran juga hamper penuh. Kalau Zandy tidak menunjukkan KTP-nya (dengan arti membawa-bawa nama keluarga Prasetyo), mereka nggak bakalan dapat parker di dekat pintu masuk yang khusus tamu-tamu VVIP ini. “Temen kamu yang ulang tahun ini siapa, sih?”

Zandy memutar bola matanya. Tadi siang baru bilang mau ngomong ‘elo’ ‘gue’, eh sekarang ‘aku’ ‘kamu’ lagi. “Nanti kamu juga tau.”

Mereka berdua turun dari mobil. Zandy menggandeng tangan Verena. Langkah Verena tiba-tiba terhenti begitu mereka berada di depan pintu masuk.

“Lho? Kenapa?”Tanya Zandy.

“Kayaknya temen kamu yang ulang tahun ini, lumayan eksis, ya? Tamunya banyak.” Verena melongok ke dalam melalui pintu yang terbuka. Suara-suara gaduh dari dalam saja bisa didengarnya. “Bener, nih nggak pa-pa kalau aku ikutan?” Verena memandang pakaian yang dipakainya malam ini. Gaun hitam polos yang panjangnya sedikit di atas lutut, sepatu dan juga tas hitam. Dia lebih suka pakaian simple, daripada pakaian yang penuh dengan renda-renda apalagi manik-manik.

“Nggak pa-pa. Kan kamu sama aku.” Zandy setengah menarik tangan Verena untuk masuk.

Sebenarnya Verena sendiri ragu mau ikut atau tidak ke sini. Apalagi setelah kejadian terakhir yang menimpanya di Hullabaloo tempo hari. Dia bahkan nggak mau lagi liat yang namanya minuman keras dan sebangsanya.

Beberapa orang tamu langsung memperhatikan Verena dan Zandy yang baru saja datang. Beberapa orang yang mengenal cukup baik keluarga, Prasetyo, Kusuma, maupun Handoko, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan kedua cucu Handoko yang tadinya nyaris tidak akrab tapi sekarang malah datang bergandengan tangan. Beberapa orang yang tidak tahu hubungan mereka menganggap kalau mereka adalah pasangan yang serasi.

Verena mulai terganggung. Musik di Hullabaloo tidak pernah sekencang ini sebelumnya. Lampunya juga tidak pernah seheboh ini. Orang-orangnya begitu padat. Verena langsung berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan meyeret pulang Zandy tidak lebih dari satu jam lagi.

Zandy mencari-cari Fiona. Melihat Verena yang terlihat tidak nyaman dia juga bertekad untuk tidak lama-lama di sini. Memberi salam pada Fiona, basa basi bentar, lalu pulang.

Mata Zandy menangkap sosok wanita bergaun merah terang menyala di dekat meja bar yang membelakanginya. Sedang tertawa bersama teman-temannya yang lain. Wanita itu adalah Fiona. Zandy tidak bisa membohongin dirinya sendiri kalau Fiona memang merupakan sosok yang menarik. Setidaknya begitulah yang dia anggap sewaktu pertama kali melihat Fiona dulu. Semua orang memberinya selamat karena berhasil mendapatkan si primadona Fiona. Tapi begitu tahu sifat Fiona yang sebenarnya, bayangan tentang sang primadona hilang sudah.

“Fiona!” Zandy berteriak, sekeras yang ia bisa untuk mengalahkan suara musik yang begitu keras, sambil melambaikan tangan.

Salah seorang teman Fiona yang melihat kehadiran Zandy, memberi isyarat kedatangan Zandy pada Fiona. Fiona berbalik dan wajahnya berseri-seri melihat sang mantan datang. “Hei, Ndy!”

“Itu temen kamu yang ulang tahun?”Tanya Verena.

Zandy mengangguk. “Fiona. Aku rasa kamu kenal. Kita kasih selamat dulu, ya.” Zandy kembali menarik tangan Viena dan menghampiri Fiona. Fiona langsung menyambut kedatangan Zandy dengan cipika-cipikinya. “Happy birthday, ya.”

“Thanks, elo udah mau dateng. Gue pikir lo udah nggak tertarik lagi dengan acara-acara kayak gini.” Fiona melirik ke arah Verena. “Verena, right? One of the Kusuma’s.”

Verena tersenyum sambil mengangguk dan mengulurkan tangannya. “Happy birthday, ya.” Di luar dugaan Verena, Fiona menarik tangannya dan bercipika-cipiki juga dengan Verena.

“Senang bisa berkenalan dengan salah satu Kusuma. Zandy nggak pernah ngenalin gue sama sepupu-sepupunya. Palingan gue cuman kenal, Davin, Dipta, dan Seanna. Itu pun gue kenal sendiri.” Fiona berbalik ke Zandy. “So? Where’s the lucky girl, Ndy?”

Verena menatap Zandy. Bertanya-tanya apa kira-kira yang akan Zandy katakana. Verena merasa belum siap kalau orang-orang tahu hubungan mereka..

“Actually infront of you.” Zandy menjawabnya dengan mantap.

Fiona terlihat bingung. “Sorry?”

Zandy merangkul Verena intens. “The precious one, Verena Maulidhya Kusuma.”

Fiona tertawa kecil. “Is this a joke or something?”

“Sorry, but no.”

Fiona melipat tangannya di depan dada. “Are you serious about this one? Did you mind what you just say? Kalian kan sama-sama Handoko.”

Zandy mempererat rangkulannya di tubuh Verena. “So? What’s the problem? Memangnya kenapa kalau kita sama-sama Handoko?”

“Zandy, Zandy.’ Fiona geleng-geleng kepala. “Lo emang nggak pernah berubah. Sepupu lo sendiri! Sepupu lo sendiri sekarang lo jadiin korban juga! Apalagi lo seorang Prasetyo dan Handoko!”

“Stop talking about my family. Dan ini bukan urusan lo! Jadi gue harap lo jaga omongan lo.” Zandy mengeluarkan sebuah kertas dari dalam sakunya. “Ini hadiah buat lo. Di design khusus.”

Fiona menerimanya dengan girang. “Wow. Lo tau aja gue suka apa. I believe your taste, Ndy.”

“Itu bukan dari gue aja. Dari keluarga besar Handoko. Yang design itu Seanna. Nanti juga Seanna yang bakalan nganter ke rumah lo.”

“Okay…but—“

“Kayaknya gue harus pulang sekarang, Fi.”

“Ndy—“

Zandy menarik tangan Verena keluar dari Hullabaloo. Dia tidak lagi memperdulikan Fiona yang meneriaki namanya. Ternyata dia emang nggak pernah berubah, batin Zandy. Masih tetap munafik dan nggak tau diri. Zandy bersyukur keputusannya memutuskan Fiona tidak salah.

Diperjalanan pulang Zandy dan Verena hanya terdiam. Verena tidak bisa menyalahkan Zandy atas kejadian tadi. Dia mengerti kalau Zandy nggak mau menutup-nutupi hubungan mereka. Sedangkan Zandy merasa nggak enak hati karena sikap Fiona pada Verena tadi.

“Maaf ya, tadi. She always like that.” Zandy tetap menatap lurus ke depan. Dia tidak sanggup melihat wajah Verena.

“It’s okay. Dia emang bener kali, Ndy. Setiap orang yang tau hubungan kita pasti bakalan bilang hal yang sama.”

Kali ini Zandy melirik Verena sebentar. Sedikit terganggu dengan kata-kata Verena barusan. “Jadi kamu keberatan? Kamu nggak suka?”

“Bukan, bukan gitu.” Verena merasa kalau Zandy salah tangkap dengan omongannya. “Itu kan wajar, Ndy. Ini konsekuensi yang harus kita terima. Kita kan udah mutusin mau coba ini semua, dan nggak seharusnya juga kamu nyalahin Fiona.”

Zandy menepikan mobilnya ke pinggir jalan yang sepi. Memukul stir mobilnya keras. Dia heran pada Verena. Jelas-jelas yang salah itu Fiona yang kalau ngomong tajamnya melebihi pisau dapur dan nggak pakai dipikir dulu. Dan sekarang Verena malah bilang kalau Fiona nggak salah?

Hell! Baik amat si cewek gue! “Kamu masih bilang dia nggak salah? Terus kamu mau nyalahin siapa? Kita?”

Verena menunduk. “Aku nggak tau.”

“Ren, look at me, please.” Zandy menangkup dahu Verena dengan sebelah tangannya dan menaikkan wajah Verena ke hadapannya. “Sebenernya aku nggak mau bawa kamu ke dalam kehidupanku. Temen-temen aku. Karena aku tau bakalan gini jadinya. Tapi aku nggak mungkin ngehindarin semua itu. Kamu udah jadi bagian aku, dan kamu juga bakalan masuk ke kehidupan aku, begitu juga sebaliknya.” Zandy menatap Verena. Tepat di mata gadis itu. Verena tidak bisa berkutik karena ditatap Zandy seperti itu. Dari tadi dia sudah menahan tangis. “Dan bukan kita yang salah. Tapi aku.”

“Kamu nggak salah. Nggak ada kamu dan aku. Tapi kita. Ini semua udah salah dari awal, Ndy. You know that.”

Zandy membuang muka. “Shit! Please, jangan salahin hubungan kita, Ren. These are all my fault.”

Air mata Verena mengalir.

Zandy menyeka air ata Verena, lembut dengan ujung jarinya. “Ssst… Just stop talking about this, okay?”

Verena menggangguk lemah.

Zandy kembali menjalankan mobilnya. Dia tahu nantinya pasti akan jauh lebih sulit lagi.